Hujan
turun di kaki gunung Halimun. Tanah merah menjadi liat, jalanan yang berlubang
membentuk kubangan-kubangan kecil. Medan yang harus ditempuh oleh mobil dan
motor pun menjadi semakin berbahaya, karena licinnya jalan di kala hujan.
Sedangkan satu-satunya cara untuk sampai ke Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar adalah
melalui akses berkelok gunung Halimun yang terkenal memiliki medan yang sulit
untuk ditaklukan.
Tak heran, banyak orang yang gagal berkunjung ke Ciptagelar
terutama ketika hujan datang. Alasan utama adalah karena kendaraan mereka tidak
mampu melewati medan yang ada, atau karena mereka sudah kelelahan duluan karena
memang butuh fisik yang sehat dan kuat untuk bisa mencapai Ciptagelar. Jarak tempuh
menuju kesana memakan 4 jam perjalanan menggunakan mobil dan 5 jam dengan
motor.
![]() |
Jalanan di Ciptagelar yang sering dilalui oleh warga |
![]() |
Sebuah mobil memasuki kawasan Ciptagelar |
Ujang Suhendi, kepala Desa Sirnaresmi yang menaungi
beberapa kampung adat di Cisolok, Sukabumi, termasuk Ciptagelar, mengatakan bahwa infrastruktur
di Ciptagelar sudah diperjuangkan lewat provinsi dan pusat, namun masih
berbenturan dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pemerintah desa sudah menggiring
dana dari provinsi hingga 2.9 milyar, hampir mencapai 3 milyar Rupiah. Namun
tak bisa direalisasikan karena sekali lagi terhalang oleh Taman Nasional yang
khawatir hal tersebut akan merusak hutan lindung.
“Justru orang-orang sono mau mengusul hidup setara sesama
desa-desa yang lain gitu, jalannya pingin diaspal, pingin bagus apalagi ketika
kendalanya ketika ibu hamil mau melahirkan itu kan sedangkan saya sendiri selaku
kepala desa ditekan oleh Bupati, Gubernur harus meminimalisir angka kematian
ibu, kematian bayi tapi dengan posisi infrastruktur seperti itu ya... mau tidak
mau masih di kecamatan Cisolok mungkin
Desa Sirnaresmi masih ada tingkat kematian bayi kemudian dengan posisi jalan
seperti itu” Ungkap Ujang, menceritakan alasannya dalam memperbaiki
infrastruktur di Ciptagelar.
Ada rahasia di balik jalan rusak Ciptagelar dan hanya
warganya sendiri dan para pengamat budaya lah yang tahu mengapa. Bukan karena
kurangnya dana ataupun akses untuk bahan baku untuk membuat jalan. Ciptagelar
memiliki alasan istimewa dibalik itu semua.
![]() |
Drs. Jajang Gunawijaya, MA, Antropolog UI |
Seorang
Antropolog dan guru besar di Universitas Indonesia, Jajang Gunawijaya mengutarakan pendapatnya mengenai alasan dibalik jalanan rusak, “Justru
ini yang saya khawatirkan, makin banyak turis berkunjung merusak lingkungan.
Itulah sebabnya mengapa pemimpin adat Ciptagelar itu tidak memperbaiki jalan.
Jalan dibiarkan rusak, jalan dibiarkan bukan rusak memang jalan dibiarkan apa
adanya gitu. Karena itu salah satu mekanisme supaya tidak rusak lingkungan
alamnya. Kalau jalannya dibikin kayak di Puncak, susah, nanti banyak orang
mencuri kayu, banyak orang jadi pemburu liar gitu, habis”.
![]() |
Harian Kompas tentang Pembangunan Jalan di TNGHS |
Dilansir
dari Harian Kompas, menurut Abah Anom, ketua adat Kasepuhan Ciptagelar terdahulu,
pembangunan jalan itu merupakan tuntutan masyarakat adat. Selama ini masyarakat
berjalan kaki belasan kilometer lewat medan yang curam. Jika naik ojek, warga
harus mengeluarkan ongkos yang tinggi. “Pelebaran jalan ini keinginan warga
adat. Abah hanya memenuhi tuntutan itu” Ungkapnya.
Ia menyatakan, pelebaran jalan tidak bermaksud merusak lingungan di hutan konservasi itu, tetapi hanya memermudah akses transportasi warga setempat. Masyarakat adat Banten Kidul juga memiliki pandanan hidup bahwa hutan merupakan titipan leluhur yag harus dijaga kelestariannya. Bahkan, ada daerah yang dianggap hutan larangan dan tidak boleh dijamah manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar