Sabtu, 08 April 2017

Spotlight, Ketika Media Melawan Gereja dan Birokrasi



Mengisahkan tentang perjuangan empat orang wartawan investigasi, Spotlight yang terinspirasi dari kisah nyata membawa penontonnya ke dalam realita pahit permainan birokrasi media dan rahasia kelam gereja di Amerika.

Disutradai oleh Tom McCarthy dan ditulis oleh McCarthy dan Josh Singer, film Spotlight yang bergenre drama kejahatan biografi ini berhasil memikat dengan gaya pengambilan gambar yang simpel dan tanpa dibuat-buat. Tak heran apabila film ini berhasil menyabet piala Oscar 2015 sebagai Best Picture.

Spotlight adalah tim yang terbentuk guna menulis sebuah rubrik investigasi di surat kabar The Boston Globe. Tim ini beranggotakan Michael “Mike” Rezendez (Mark Ruffalo), Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams) dan Steve Kurkjian (Gene Amoroso), serta diketuai oleh Walter “Robby” Robinson (Michael Keaton) sebagai kepala editor.

Berawal mula dari kedatangan pemimpin redaksi baru asal Miami bernama Marty Baron (Live Schreiber), kantor redaksi The Boston Globe dibuat gencar karena kabar mengenai Baron yang tidak ragu dalam memecat pekerja-pekerja di kantornya yang lama. Namun, di hari pertamanya bekerja di The Boston Globe, Baron membawa Eileen McNamara ke dalam ruang rapat dan menunjukkan ketertarikannya pada kolom yang ditulis Eileen tentang skandal kasus pelecehan seksual pada anak yang dilakukan oleh Geoghan, seorang pastor Katolik di Boston. Setelahnya, Baron meminta Robby sebagai kepala editor tim Spotlight untuk menyelidiki lebih lanjut kasus Geoghan, karena ia rasa kasus tersebut belum cukup mendapatkan sorotan di media.

Pengajuan yang dilakukan Baron mendapatkan banyak respon negatif maupun positif. Karena pertama, menginvestigasi kasus Geoghan sama saja dengan berusaha untuk menuntut gereja. Kedua, 53% pembaca The Boston Globe adalah penganut agama Katolik. Namun, Robby sebagai kepala editor memilih untuk mengambil resiko dan membawa ide tersebut ke tim Spotlight.

Langkah pertama yang diinstruksikan oleh Baron adalah membuka kembali dokumen gugatan kepada pastor John Geoghan yang telah didakwa melakukan lebih dari 80 kasus pencabulan anak. Robby lalu menugaskan Mike untuk pergi menemui Mitchell Garabedian, seorang pengacara yang mengaku memiliki bukti-bukti lengkap yang mampu membuktikan bahwa Geoghan bersalah dan Kardinal Law turut terlibat dalam menutupi kasus tersebut. Keterlibatan Kardinal Law ini semakin memperumit keadaan karena Kardinal Law adalah uskup besar Boston, seseorang yang memiliki peranan serta kekuatan besar di gereja.

Setiap anggota Spotlight memiliki tugas yang berbeda-beda, seperti contohnya; Mike yang mengumpulkan data dari Garabedian sebagai pengacara para korban, Sacha turun ke lapangan untuk melacak keberadaan dan mewawancarai langsung para korban, sementara Steve membuka arsip-arsip serta artikel lama di The Boston Globe.

Cara Mike untuk membujuk Garabedian untuk berbicara bisa dibilang sangat gigih. Dia tidak hanya datang ke kantornya, dia juga mendatangi Garabedian langsung di jalan menuju kantor apabila ia susah dihubungi untuk dimintai keterangan dan hal tersebut tidak hanya dilakukan sekali saja. Sedangkan Sacha cenderung lebih hati-hati dan menunjukkan empatinya kepada korban yang ia wawancarai sehingga bisa membuat mereka merasa nyaman dan bercerita terus-terang padanya. Robby memiliki watak paling keras diantara ketiga wartawan yang turun ke lapangan. Yang paling membedakannya adalah keahliannya dalam bersosialisasi dan koneksinya di Boston yang begitu luas.

Ketika Mike pergi menemui Garabedian, Robby dan Sacha mengadakan meeting bersama Eric Macleash, pengacara korban tindak pelecehan seksual dari kasus Father Porter. Sedangkan Baron sebagai kepala editor yang baru pergi berkeliling mengurus kepentingan birokrasi yang ada guna mempermudah pekerjaan tim Spotlight. Seperti berbicara langsung ke penerbit dan bahkan bertemu dengan Kardinal Law di kediamannya. Di sini membuktikan bahwa bukan hanya tim Spotlight saja lah yang bekerja dalam menggali berita, kepala editor mereka juga turut membantu penyelidikan.

Setelah itu, tim Spotlight mengundang langsung Phil Saviano, ketua SNAP (Survivors Network of those Abused by Priests) ke redaksi mereka. Lewat wawancara mereka dengan Saviano, diketahuilah bahwa bukti-bukti yang dimiliki Saviano sudah ia kirimkan 5 tahun yang lalu namun tidak ada tanggapan dari pihak The Globe. Ini membuat tim Spotlight kebingungan karena tak satupun dari mereka yang mengetahui hal tersebut. Namun berkat Saviano, mereka berhasil dibawa menuju narasumber-narasumber berikutnya yang selanjutnya akan didatangi langsung oleh Sacha baik itu di kafe maupun kediaman para narasumber.

Di waktu lain, Robby pergi bermain golf bersama kawan lamanya, Jim Sullivan. Jim Sullivan diduga menjadi orang yang membantu kasus Liam Barret, pastor yang mencabuli anak-anak di Philadelphia lalu dipindah-tugaskan ke Boston, lalu dipindah-tugaskan lagi ke tempat lain. Awalnya Robby hanya berbincang-bincang santai dengan Jim tetapi Jim yang segera menangkap motif Robby memilih untuk bungkam. Yang menarik dari cerita ini adalah bagaimana para pemainnya saling mengenal narasumber-narasumber yang mereka kejar karena masih berada di satu lingkungan yang sama dengan mereka dan bukti bahwa ‘Boston pride’ sangat kuat disana, hingga membuat aparat hukum, gereja, dan media mampu bersengkongkol dalam melindungi kota Boston.

Para wartawan The Globe terus mempersuasi narasumber secara perlahan namun meyakinkan. Mereka juga menghargai privasi narasumber, apabila dibilang off the record, mereka tidak akan merekam, apabila dibilang untuk tidak dicatat sama sekali mereka tidak akan mencatat (namun mengingat), apabila narasumber meminta untuk mengganti tempat untuk berbincang mereka akan menurutinya dan apabila narasumber tidak mau menyebutkan nama, tidak akan mereka tulis.

Banyak sekali rintangan yang dialami oleh tim Spotlight. Seperti sulitnya bertemu dengan para narasumber, ditolak ketika dimintai keterangan kepada pengacara-pengacara yang terlibat, tidak mendapatkan perizinan untuk mengambil dokumen dari pengadilan, atau terkadang mereka harus rela mengesampingkan kepentingan pribadi mereka karena proses dalam meulis berita Spotlight tidaklah singkat. Salah satu bagian yang menyita waktu paling lama dari tim Spotlight adalah pengumpulan dokumen-dokumen lama dari arsip pengadilan dan data-data pribadi The Boston Globe sendiri.

Titik terang mulai datang kepada tim Spotlight. Berdasakan penuturan Richard Sipe, psikoterapis dari The Seton Psychiatric Institute di Baltimore, dalam wawancaranya on the phone dengan Mike, 6% dari pendeta di Boston pernah berhubungan seksual terhadap 90 anak-anak. Berkat kerja keras mereka berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan dan juga dari keterangan narsumber-narasumber terpercaya, ditemukan fakta bahwa ada 87 pendeta Katolik yang diduga telah melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak. Hanya berbeda 3 angka dari prediksi Sipe. Angka tersebut sangat mengejutkan karena terlampau jauh dari angka awal perkiraan mereka, yaitu 13 pendeta.

Setelah mendapatkan fakta yang mengejutkan tersebut, tim Spotlight kembali mendapatkan halangan. Peristiwa 9/11 terjadi selang beberapa minggu kemudian dan memecah fokus The Boston Globe atas prioritas berita yang harus diliput. Tim Spotlight terpaksa menunda penuntasan berita mereka walaupun Mike sudah berhasil mendapatkan izin dari pengadilan untuk membuka dokumen rahasia gereja. Ia dan tim memutuskan untuk tidak menerbitkannya pada akhir tahun, karena berdekatan dengan Natal. Namun alasan utamanya adalah karena 9/11 sudah cukup memberikan trauma berat pada masyarakat Amerika di tahun 2001.

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pada tanggal 6 Januari 2002, setelah kurang lebih 6 bulan masa investigasi, The Boston Globe menerbitkan headline dengan judul "Church Allowed Abuse by Priest For Years". Headline tersebut tentunya cepat menyebar dan menggemparkan masyarakat Boston. Bahkan di hari terbitnya berita investigasi tersebut, tim Spotlight mendapatkan banyak respon dari pembacanya. Mike dan Robby yang baru tiba di kantor sempat terkejut ketika melihat ruang redaksi Spotlight dipenuhi karyawan The Boston Globe yang sedang membantu Sacha dan Steve menerima berbagai telepon yang masuk. Telepon-telepon itu berasal dari korban-korban pelecehan seksual yang juga dilakukan oleh pendeta. Banyak sekali korban yang tadinya bungkam menjadi bersedia menceritakan pengalaman pribadi mereka secara sukarela. Bukan hanya itu saja efek berita yang dilakukan oleh tim Spotlight, mereka juga berhasil membuat Kardial Law mengundurkan diri dari jabatannya.

Dalam film Spotlight ini, sarat pesan yang mengandung kaidah-kaidah jurnalistik. Fokus utama di sini adalah jurnalisme investigasi, yang memiliki arti; penelusuran panjang berita dan mendalam terhadap sebuah kasus yang bersifat rahasia. Memang proses pembuatan beritanya memakan waktu yang terbilang cukup lama, namun dampak yang diberikan dari berita investigasi ketika disebar-luaskan mampu mengubah persepsi masyarakat, pemerintah dan bahkan pihak media sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar