Pada penghujung 2016, masyarakat Indonesia
digemparkan oleh pemberitaan kasus perampokan sadis di Pulomas, Jakarta Timur.
Sebelas orang disekap di dalam kamar mandi dengan luas 2x1 meter, kurang lebih selama 19 jam. Hal tersebut merenggut nyawa 6 orang dan 5 orang lainnya
selamat. Korban meninggal adalah Dodi (59), Diona (16), Gemma (9), Amel (10), Yanto
dan Tasrok. Sedangkan korban yang selamat antara lain adalah Zanette (13), Fitriani
(23), Windy (23), Santi (22) dan Emi (41).
![]() |
Kamar mandi tempat penyekapan 11 korban perampokan Pulomas |
Zanette,
salah satu dari kelima korban selamat, merupakan saksi kunci dan satu-satunya
anak Dodi yang berhasil selamat dari kekejaman perampokan Pulomas. Identitas
Zanette sebagai korban serta akun media sosial-nya disebar-luaskan oleh media dan
menjadi viral di kalangan masyarakat. Namun, yang tidak media
perhitungkan adalah rawannya keselamatan Zanette yang masih dibawah umur karena
eksposur berlebihan yang telah mereka lakukan. Apakah ada hukum konkret yang berlaku dalam
perlindungan keselamatan bocah berusia 13 tahun ini?
Dalam UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam
kandungan. Kekerasan
terhadap anak dalam arti kekerasan dan penelantaran anak adalah semua bentuk
perlakuan menyakitkan secara fisik maupun emosional, penyalahgunaan seksual,
penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain yang mengakibatkan
cidera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak,
kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak-anak atau
kekuasaan.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 5 Ayat 1, mengenai Perlindungan
dan Hak Saksi dan Korban menyatakan bahwa, seorang Saksi dan Korban berhak:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi,
Keluarga, dan harta bendanya, serta
bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang, atau telah
diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan
bentuk perlindungan dan dukungan
keamanan;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. Mendapat penerjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h. Mendapat informasi dalam hal terpidana
dibebaskan;
i. Dirahasiakan identitasnya;
j. Mendapat identitas baru;
k. Mendapat tempat kediaman sementara;
l. Mendapat tempat kediaman baru;
m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai
dengan kebutuhan;
n. Mendapat nasihat hukum;
o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai
batas waktu Perlindungan berakhir;
dan/atau
p. Mendapat pendampingan.
Ditambah lagi dengan
Ketentuan Pasal 6 Ayat 1 disebutkan bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia
yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan
orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual,
dan korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5, juga berhak mendapatkan:
a. Bantuan medis; dan
b. Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
Dapat dibuktikan lewat kedua undang-undang tersebut bahwa anak sebagai korban
perlu dilindungi identitasnya dari pemberitaan media massa, serta dijaga kondisi
mentalnya dari gangguan stres pascatrauma atau PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Namun nyatanya, media tidak
mematuhi peraturan undang-undang yang berlaku demi kepentingan ekonomi.
Bagaimana tidak? Bukan hanya artikel mengenai identitas Zanette saja yang
banyak dipublikasikan, foto-foto mayat korban juga berseliweran di sejumlah
media sosial tanpa ada sensor.
"Bagaimana jika anaknya melihat foto itu? Atau korban yang masih hidup melihat foto itu?" Terang Irma Martam, psikolog dan pembina Yayasan Pulih dalam berita BBC Indonesia. "Untuk menerima kejadian itu saja, keluarga atau kerabat dekat bisa stress dan trauma. Apalagi kalau kembali terpapar dengan foto-foto yang tersebar di media sosial” Lanjutnya.
"Bagaimana jika anaknya melihat foto itu? Atau korban yang masih hidup melihat foto itu?" Terang Irma Martam, psikolog dan pembina Yayasan Pulih dalam berita BBC Indonesia. "Untuk menerima kejadian itu saja, keluarga atau kerabat dekat bisa stress dan trauma. Apalagi kalau kembali terpapar dengan foto-foto yang tersebar di media sosial” Lanjutnya.
![]() |
Salah satu artikel di Kompas.com yang menampilkan foto Zanette |
Seharusnya, bila media memang mengetahui dampak buruk yang bisa timbul akibat eksploitasi terhadap korban anak, media
akan berhenti memberitakan mengenai Zanette dan kehidupan pribadinya. Karena
mereka tidak akan pernah bisa menjamin keselamatan diri Zanette yang rawan untuk
dilacak oleh massa. Masa depan seorang anak bukanlah sebuah komoditas, karena
seyogyanya mereka adalah penentu masa depan bangsa yang patut untuk dilindungi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar