Selasa, 10 Januari 2017

Tinggal di Kosan Campur, Hingga Dirampok di Filipina

Awal mulanya, saya yang bersekolah di Universitas Indonesia, tertarik untuk mengikuti salah satu organisasi paling digemari di UI, bernama AIESEC. AIESEC adalah organisasi non-profit internasional yang terdapat di berbagai macam universitas di seluruh dunia termasuk UI. Lewat AIESEC, saya berhasil mendapatkan sebuah proyek bernama Global Village dimana saya akan membuat karya sebuah video Vine berdurasi 6 detik tentang budaya Filipina lewat sudut pandang orang lokal dan mempromosikannya di internet. Jadi, saya akan banyak pergi mengelilingi Manila mengunjungi museum-museum seni dan sastra disana serta mempelajari sejarah dari negara indah ini.

Yang lebih menyenangkannya lagi, proyek yang saya ikuti ini diselenggarakan oleh AIESEC UPD atau University of The Philippines Diliman, universitas terbaik di Filipina. Saya pun dapat berinteraksi dengan mahasiswa-mahasiswa disana sekaligus menambah teman.

20 Januari 2014, adalah tanggal keberangkatan saya ke Filipina. Pertama kalinya saya tiba di Ninoy-Aquino International Airport (NAIA), saya dan partner saya Thobie disambut dengan ramah oleh EP (Exchange Participant) buddy kami yang bernama Mikko Argonza, kami biasa memanggilnya Mikko. Mikko membawa sebuah poster besar yang bertuliskan; “Mabuhay! Welcome to the Philippines Thobie & Arrum”. Lalu, dia meminta kami untuk berfoto dengan poster yang dia bawakan dengan alasan ingin mengirimkannya ke anggota AIESEC lainnya yang juga sudah tak sabar untuk bertemu dengan kami.

Foto kedatangan di NAIA bersama Thobie
Minggu pertama berada di sana, saya agak kesusahan dalam mencari makanan di Filipina karena mayoritas kuliner di sana mengandung babi atau alkohol. Sehingga, saya harus berhati-hati ketika akan memesan makanan. Yang kedua, adalah karena agama Islam di Filipina merupakan agama minoritas, saya lumayan kesusahan ketika datang waktu shalat dan tidak ada tempat wudhu maupun mushalla sama sekali. Sehingga, saya harus mangakali wudhu di wastafel dan shalat di tempat-tempat sepi yang jarang ada orang lewat. Selain dari itu, saya cukup menikmati keadaan di Filipina. Sistem tata kotanya, terutama di Manila, tidak terlalu berbeda dengan di Indonesia dan orang-orang lokalnya luar biasa ramah serta dapat berbicara bahasa Inggris dengan fasih.

Selama berada di sana, saya tinggal di sebuah kosan campur (co-ed) di Jalan Zuzuarregui, daerah Matandang Balara, dekat dengan University of the Phillippines Diliman supaya mempermudah mobilitas saya dari dorm ke kampus. Kosan yang saya tinggali berbentuk rumah dengan 3 lantai yang memiliki dua bangunan inti namun dijadikan satu. Bangunan sebelah kiri untuk bagian perempuan, kanan untuk laki-laki dan tengah untuk sang penghuni rumah. Di sana, saya mendapatkan teman-teman baru, dua orang Indonesia, dua orang Pinoy, satu orang Jepang dan satu orang dari India.

Kedua orang Indonesia yang saya temui bernama Kemmy dan Mira, Mira adalah Mahasiswi Hukum di UNPAD, sedangkan Kemmy Mahasiswi FKM (Fakultas Kesehatan Masyarakat) UI. Lalu ada Abhi, mahasiswa Teknik Sipil asal Dehradun, India Utara. Puka, cowok Jepang lulusan Adelaide University, Australia. Serta terakhir, Joseph dan Marj, penduduk lokal yang sama-sama berokupasi sebagai chef di Manila.

Dari kiri bawah: Thobie, Puka, Kemmy, saya.
Dari kiri atas: Joseph, Marjorie, Mira, Abhishek
Tak dapat dipungkiri, tinggal bersama orang-orang dari negara yang berbeda pasti membuat siapapun merasakan sedikit adanya culture shock ketika mengetahui kebiasaan khusus masing-masing. Seperti Puka yang tidak bisa makan makanan pedas, Abhi yang vegetarian, Joseph dan Marj yang suka bernyanyi dimanapun dan kapanpun. Tanpa mereka, mungkin saya tidak akan betah dan merasa homesick selama tinggal di sana.

Berbagai pengalaman telah saya alami bersama mereka. Namun, yang paling berkesan adalah sebuah kejadian tidak beruntung yang dialami oleh Thobie dan Abhi di kost kami sendiri. Berawal di suatu pagi pada akhir bulan Januari, ketika saya dan Thobie sudah berada di Filipina selama kurang lebh 2 minggu.

Thobie sedang menunggu saya yang masih bersiap-siap untuk berangkat ke UPD di living room kosan kami. Sayup-sayup dari dalam kamar saya bisa mendengar suara Thobie yang sedang bercakap-cakap dengan seorang pria, tapi suara pria itu tidak terdengar familiar di kuping saya. Mereka berbincang lumayan lama, tapi begitu saya pergi keluar kamar pria itu sudah tidak ada dan hanya ada Thobie sendirian.
Saya pun bertanya ke Thobie, "Ngobrol sama siapa lo tadi?"
"Ada cowok Pinoy yang mau liat-liat fasilitas kosan, katanya sih dia mau move ke sini sekitar bulan depan" Jawab Thobie
"Terus ngobrolin apa aja? Gue ampe kedengeran suara kalian dari kamar" Tanya saya lagi
"Dia sempet nanya sih, gue orang mana, kamarnya dimana, punya laptop atau nggak, laptopnya taro mana. Agak aneh ya?" Ucap Thobie. Saya terdiam karena merasa ada yang ganjil dengan pertanyaan orang asing itu kepada Thobie dan kenapa Thobie mu menjawab pertanyaan tersebut.
"Thob.....seriusan dia nanya kayak gitu? Buat apa? Kok gue ngerasa aneh ya, coba deh lo ke bawah sekarang juga buat check kamar lo" Ujar saya. Thobie pun langsung menuruti perkataan saya dan bergegas pergi meuju kamarnya.

Ternyata benar saja, kenop pintu kamar Thobie copot dan lemarinya dibongkar paksa. Dua laptop milik Thobie dan Abhi sudah tidak ada lagi di dalamnya. Saking shock-nya, Thobie hanya bisa diam dan bolak-balik di dalam kamarnya, karena melihat Thobie yang linglung seperti itu, saya curiga dia dihipnotis. Saya pun berinisiatif menelepon pemilik kosan, untuk menanyakan cara melaporkan hal ini kepada polisi.

Kami sudah mencoba untuk meminta rekaman CCTV kepada pemilik kosan namun katanya CCTV mereka sedang rusak. Kami juga bertanya kepada satpam komplek di situ, namun dia juga tidak tahu identitas pria yang merampok laptop Thobie. Begitu pemilik kos-an datang, kami langsung dibantu dan diantarkan ke kantor polisi terdekat di daerah bernama Batasan. Tak pernah terbayangkan di benak saya, pertama kalinya saya masuk ke dalam kantor polisi adalah di negara orang.

Kantor polisi tempat kami melapor
Prosedur yang harus kami lakukan guna melaporkan perampokan tersebut memakan waktu cukup lama, terlebih lagi karna kami Warga Negara Asing. Tapi sungguh disayangkan, perlakuan polisi di sana sangat tidak ramah. Mereka bahkan menganggap kasus kami ini sebagai hal yang tidak penting. Saya ingat sekali, salah satu dari polisi tersebut berkata dengan ketus dihadapan kami, "These kind of things happen everyday, there's nothing you can do about it."

Tidak ada yang bisa kita lakukan? Kenapa seorang polisi yang seharusnya membantu masyarakat yang kesulitan dengan entengnya berkata seperti itu? Saya merasa sangat tersinggung. Sampai akhirnya saya diberitahu oleh pemilik kosan bahwa tingkat kriminalitas di Filipina sangatlah tinggi, terutama pencurian dan perampokan.

Berdasarkan data dari The Philippine National Police (PNP), tingkat kriminalitas kala itu (2014) naik 46% ketimbang tahun sebelumnya. Perampokan seperti yang Thobie alami terjadi setiap harinya di Manila sendiri, hingga polisi tidak lagi mampu merekap data perampokan. Sehingga banyak sekali kasus seperti ini yang terjadi, tanpa ada penanganan lebih lanjut. Di situlah saya tersadarkan, kalau memang kriminalitas di negara ASEAN manapun sangat memprihatinkan.

Apa daya, saya dan Thobie pulang dengan tangan hampa. Ternyata kantor polisi di negara manapun sama saja susahnya dalam melakukan prosedur. Thobie pun kehilangan kesabarannya dan minta pulang. Sesampainya di kos-an kami, bapak pemilik kos-an menawarkan Thobie makanan. Thobie yang biasanya makan dengan lahap, hari itu terllihat tidak bernafsu makan.

Malamnya, saya menelepon kedua orang-tua saya lewat Skype call dan menceritakan semua yang saya alami hari itu. Ayah saya menyuruh saya untuk lebih berhati-hati, sedangkan Ibu saya yang super protektif langsung panik dan menelepon kenalannya di atalase militer Filipina. Which I think is way too exaggerating. Saya langsung melarang ibu saya untuk menelepon temannya itu, tapi ibu saya memaksa dan bilang kalau pihak sana hanya akan membantu memeriksa kos-an tempat saya tinggal dan melakukan investigasi sendiri. Ya, mau tak mau saya harus menurut apa kata ibu.

Dua hari kemudian, saya dikontak atalase militer KBRI di Filipina, yang bernama Kolonel Yani. Benar saja, dia menanyakan detail serta kronologi kejadian mengenai kasus perampokan yang dialami Thobie. Menurut Kolonel Yani, daerah tempat saya tinggal memang rawan terjadi perampokan. Dia juga berspekulasi kalau perampokan ini direncanakan oleh bapak pemilik kos-an, karena menurutnya perampokan yang Thobie alami terlalu janggal dan lancar. Kolonel Yani pun meminta saya untuk lebih berhati-hati sampai saya pulang kembali ke Indonesia. Namun, sepertinya investigasi yang dia lakukan tidak membuahkan hasil, karena hingga saya pulang ke Indonesia, pelaku perampokan itu masih juga belum ditemukan.

Kejadian yang dialami Thobie menjadi pelajaran bagi saya untuk selalu lebih berhati-hati. Saya selalu menggembok koper saya, mengecek kamar sabelum pergi, memakai tas di depan ketika berjalan, dan mengecek seluruh isi tas sebelum pulang. Saya yang biasanya ceroboh dan sembrono, menjadi sangat teliti dan lebih terorganisir di Filipina. Siapa yang tahu kalau ternyata saya mendapat hikmahnya juga.

3 komentar:

  1. Hy.brapa lama kamu di Filipina?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, salam kenal Jimmy! Saya waktu itu di Filipina dari tanggal 10 Januari sampai 20 Februari :)

      Hapus
  2. Baca dr beberapa blog lain, katanya orang2 disana lebih ramah? Bahkan lebih ramah dr org indonesia, apa bener?

    BalasHapus