Senin, 06 Februari 2017

Dampak Tayangan Pada Anak

TAYANGAN KEKERASAN DI TV, MEMICU NALURI MEMBUNUH?


            Anak-anak terutama kalangan remaja yang sering menghabiskan waktu dengan menonton TV, tentu memiliki idola kesayangan. Entah itu penyanyi, aktor, penari, atau lainnya. Mereka cenderung melihat orang-orang tersebut di TV dan merasa termotivasi untuk menjadi seperti mereka juga. Biasanya, mereka terpana dengan kesuksesan hidup dari idola mereka dan berharap untuk bisa menjadi seperti itu atau bahkan lebih. Penyanyi seperti Michael Jackson contohnya, yang merupakan The King of Pop, atau Leonardo DiCaprio yang sebagai peraih Oscar 2016. Namun, apa jadinya apabila ada seorang anak yang mengidolakan teroris?

         Pada Sabtu 5 Januari 2002, seorang anak laki-laki berumur 15 tahun, bernama Charles J. Bishop, menabrakkan pesawat Cessna yang telah dicurinya ke gedung Bank of America di Tampa, Florida. Bishop sudah dengan jelas meniru aksi terorisme yang terjadi 11 September lalu. Dia meningggalkan sebuah surat bunuh diri yang semakin memperkuat alasan dibalik perbuatannya. Walaupun demikian, kebanyakan dari media lebih mengutarakan bahwa Bishop berkata dirinya sudah “mengagumi Osama Bin Laden sejak lama.”

Pada tanggal 6 Februari 2002, pihak berwajib Tampa mengeluarkan kopian asli dari surat bunuh diri yang ditinggakan oleh Bishop. Dan berikut adalah transkipsi dari apa yang Bishop tulis, yang tentunya tidak dilaporkan secara umum:

“I have prepared this statement in regards to the acts I am about to commit. First of all, Osama Bin Laden is absolutely justified in the terror he has caused on 9-11. He has brought a mighty nation to its knees! God blesses him and the others who helped make September 11th happen.
The U.S. will have to face the consequences for its horrific actions against the Palestinian people and Iraqis by its allegiance with the monstrous Israelis—who want nothing short of world domination!
You will pay—God help you—and I will make you pay!
There will be more coming!
Al-Qaeda and other organizations have met with me several times to discuss the option of me joining. I didn’t.
This is an operation done by me only. I had no other help. Although, I am acting on their behalf.
Osama Bin Laden is planning on blowing up the Super Bowl with an antiquated nuclear bomb left over from the 1967 Israeli-Syrian war.”

Pesawat Cessna yang diterbangkan Bishop menghantam gedung Bank of America
Dari kasus Bishop ini, saya belajar bahwa persepsi seorang anak dapat berbeda-beda. Ada anak-anak yang melihat berita kejahatan di TV sebagai hal yang perlu ditakuti dan dijauhi. Tapi, ada juga anak yang melihatnya sebagai sebuah accomplishment. Sesuatu yang begitu hebatnya, dan mungkin dapat menarik perhatian media ke padanya. Ini menunjukkan, ada dorongan psikologis dari dalam diri si anak. Apabila ada absensi orangtua dalam pengawasan tontonan anak, bukan hanya pada acara anak-anak saja, tetapi juga berita di TV. Ada kemungkinan akan semakin banyak remaja-remaja di luar sana yang terinspirasi dengan perbuatan Bishop.

Sebelumnya, mari kita bahas. Apa itu kekerasan?
Menurut NTVS (The National Television Violence Study), Amerika Serikat:
• Pelaku maupun korban merupakan makhluk hidup (baik riil maupun animasi)
• Ada kesengajaan untuk menyakiti
• Kekerasan itu bersifat fisik dan bukan psikologis
ataupun emosional.

Ketiga poin tersebut mudah sekali dilakukan oleh anak-anak, karena mereka merupakan ‘khalayak yang rentan’, mereka masih belum bisa membedakan mana yang real dan mana yang hanya “buatan” TV. Mereka mudah sekali mengimitasi tindak kekerasan dan belum sepenuhnya memahami soal konsekuensi.

Sekali lagi, apabila tidak ada bimbingan orangtua dalam kontrol tontonan anak, tentunya anak akan semakin tidak akan mampu membedakan mana yang benar dan tidak.


EKSPERIMEN BONEKA BOBO

Potongan video dari The Bobo Doll Experiment
Pernahkah anda mendengar tentang Bobo doll? Jika belum, perlu anda ketahui kalau Bobo Doll Experiment, menunjukkan bahwa perilaku anak dipengaruhi oleh pengalaman tidak langsung dan dalam hal ini adalah lewat tayangan TV.

          Pada sebuah eksperimen metode observasi perilaku anak, didatangkan 96 balita yang terdiri dari 48 laki-laki dan 48 perempuan. Subjek dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok yang pertama mengamati perilaku agresif dalam kehidupan nyata/lingkungan sekitar, kelompok yang kedua juga mengamati perilaku agresif tapi dalam bentuk film.

Film yang ditampilkan kepada subjek pertama, adalah seorang laki-laki dewasa dan perempuan dewasa yang saling berinteraksi secara agresif sesuai dengan kehidupan nyata. Subjek lainnya, disuguhi dengan film berbentuk karakter, yaitu seorang perempuan yang memakai kostum hitam seperti kucing melakukan tindakan agresif terhadap boneka Bobo. Sebuah boneka seukuran manusia dan berpenampilan seperti badut yang dipukul bagian kepalanya dengan palu, mendudukkan boneka dan meninju bagian hidung, lalu melemparkannya di udara, serta ditendang keras.

Berdasarkan hasil eksperimen tersebut, dalam jangka waktu 10 menit setelah menonton film tersebut, subjek kedua mulai bertingkah dengan mempraktekkan tindakan yang sama persis dengan adegan video pemukulan boneka Bobo. Ditinju, dipukul, dilempar, dan ditendang. Sedangkan subjek pertama yang melihat anak-anak yang meniru adegan pemukulan boneka Bobo, juga ikut-ikutan memukuli boneka Bobo tersebut tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Hal ini menunjukkan, tayangan kekerasan yang ditonton oleh anak akan memicu tindakan agresif dari diri anak.

TEEN SUICIDE MERUPAKAN HAL YANG POPULER

Di dalam buku ‘Children, Youth, and Suicide: Developmental Perspectives’ karya Gil G. Noam dan Sophie Borst, mulai dari jangka umur 15 sampai 24, menunjukkan faktor resiko biologis paling lazim terjadi di dalam kurun umur grup tersebut adalah serangan pubertas, yang terpicu dari kenaikan produksi hormon yang dapat menimbulkan pendewasaan seksual. Kapanpun keadaan biologis ini mulai menyerbu, mereka menambah beban kepada kepanikkan dalam periode usia tersebut, dan menaikkan resiko bunuh diri.

Seperti yang dijelaskan oleh Erikson (1980), remaja yang mengembangkan pengertian konsisten tentang siapa diri mereka dan akan menjadi apa mereka nantinya, memiliki fondasi dalam kompetensi mengatasi stress pada periode usia ini. Sebaliknya, remaja yang kesulitan dengan identitas mereka cenderung kurang dapat mengembangkan kemampuan mengatasi yang dibutuhkan untuk dihadapi secara efektif dengan tantangan tersebut.

Mayoritas remaja pada umumnya memiliki sifat labil, plin-plan dan moody. Bahkan dalam pergaulan, remaja biasanya akan memilih membeli barang yang ia suka hanya berdasarkan pilihan teman-temannya atau karena trend yang ada. Semuanya hanya dilandasi oleh pergaulan semata, bukan karena pilihan pribadi. Dari apa yang saya lihat dan alami sendiri, remaja terutama yang masih berada di bangku SMP dan SMA memiliki tingkat loyalitas akan pertemanan yang tinggi, dan dari loyalitas tersebut seakan-akan ada sebuah “perjanjian tak kasat mata" dimana ketika teman yang satu melakukan suatu hal, maka yang lain pun akan terdorong untuk melakukan hal tersebut juga.

          Salah satu contoh terburuk dari kasus bunuh diri remaja adalah yang terjadi di Plano High School, Dallas, Amerika Serikat. Dimana ada dua orang sahabat, Bill Ramsey dan Bruce Carrio, siswa asal Plano High School angkatan 1982. Pada suatu kejadian, Bill Ramsey tewas dalam sebuah drag race dan membuat sahabat yang ditinggalkannya, Bruce, depresi berat.  Sehari setelah pemakaman Bill, Bruce memutuskan untuk menyusul temannya tersebut. Ia meracuni dirinya sendiri di dalam mobil yang diparkirkannya di garasi rumah orang-tuanya, dengan karbon monoksida dari bau asap bensin. Bruce Carrio, 16 tahun, dinyatakan meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 1983. Berita tentang kasus bunuh diri Bruce pun dengan cepat menyebar di TV.

Enam hari setelah kematian Bruce, pada tanggal 1 Maret, Glenn Currey, 18 tahun, bunuh diri dengan karbon monoksida di garasi rumah orang-tuanya. Sama seperti Bill dan Bruce, Glenn juga merupakan siswa di Plano High School. Walaupun, ia tidak mengenal Bill dan Bruce secara langsung sebelumnya. Kejadian ini masih diikuti oleh lebih dari belasan kasus bunuh diri yang terinspirasi dari kematian Bruce.

Walaupun alasan bunuh diri mereka berbeda-beda, ada yang karena patah hati, ada pula karena depresi, cara yang mereka gunakan tetap sama. Lewat racun karbon monoksida. Ada spekulasi bahwa apabila kasus bunuh diri yang pertama tidak pernah terjadi, kasus bunuh diri lainnya belum tentu akan terjadi. Hal ini berarti, apabila ada satu pemicu atau dalam kata lain trend baru yang terjadi, remaja-remaja rentan yang masih belum menemukan jati diri mereka inilah yang akan paling terpengaruh dan termakan oleh trend  tersebut.


KURANGNYA LITERASI MEDIA

               Neil Postman (1982; 1994) dan David Buckingham (2000): jutaan anak di seluruh dunia hilang masa kanak-kanaknya akibat terlalu banyak mengkonsumsi isi media elektronik yang kebanyakan berupa materi untuk orang dewasa -> membuat anak menjadi cepat dewasa sebelum waktunya, dan ini tentu menimbulkan banyak masalah.

          Lalu apa yang kita butuhkan? Jawabannya adalah literasi media. Literasi media adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh semua pengguna media, supaya dapat memilah mana yang positif dan mana yang negatif serta memanfaatkan isi media dengan maksimal. Atau dalam istilah lainnya, kita harus melek media.

          Literasi media tentunya sangat dibutuhkan dalam proses pembimbingan tontonan anak, contohnya adalah monitoring acara. Para orang-tua harus siap sedia ketika sedang menonton bersama sebuah acara BO (bimbingan orang-tua) atau D (dewasa) bersama anaknya. Apabila ada adegan kekerasan yang terjadi, segera beritahu anak bahwa hal tersebut bukanlah hal yang baik dan tidak patut untuk dilakukan atau ketika ada adegan di TV yang terkesan tidak realistis, segera beritahukan anak bahwa hal tersebut tidak benar-benar terjadi dan bukanlah suatu hal normal yang bisa dilakukan sehari-hari melainkan hanyalah sebagai hiburan saja.

          Hal-hal kecil seperti inilah justru yang terkadang bisa menjadi sangat krusial dalam proses perkembangan anak. Bukan hanya parenting, bukan hanya lingkungan, tapi juga apa yang disajikan media terhadap mereka. Terutama televisi, karena stasiun TV swasta tidak akan peduli dengan isi/konten acara melainkan keuntungan semata.

          Sering sekali saya melihat orang-tua luput dalam pengawasan acara TV anak. Seperti kartun The Simpsons, Family Guy, bahkan Crayon Shinchan yang awalnya merupakan kartun dewasa malah menjadi tontonan untuk anak-anak. Akibatnya, anak-anak yang merasa kartun sebagai “teman” mereka akan dengan mudah meniru perbuatan-perbuatan dari kartun tersebut dan menganggapnya sebagai hal yang baik. Perlu diingat kembali, bahwa dalam kartun yang baru saja saya sebut terdapat adegan mesum dan pembunuhan yang eksplisit. Apakah dari miskonsepsi idola inilah yang mendorong faktor teen crimes? Bahkan apabila tidak, bisa saja terjadi Sleeper Effect pada si anak dan membuat ia melakukan hal yang pernah ia tonton di kemudian hari.

          Jika kita tidak mau kasus seperti Charles Bishop atau Bruce Carrio terulang kembali, kita harus lebih memonitor tayangan di TV yang akan ditonton oleh anak-anak, serta memberikan pengarahan atau bimbingan counselling kepada para remaja yang masih rentan akan jati diri mereka. Walaupun tak nampak, kita tidak akan pernah tahu apa yang ada di dalam isi pikiran anak. Saling terbuka kepada keluarga terutama orang-tua adalah kuncinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar