TAYANGAN KEKERASAN DI TV, MEMICU NALURI MEMBUNUH?
Anak-anak
terutama kalangan remaja yang sering menghabiskan waktu dengan menonton TV,
tentu memiliki idola kesayangan. Entah itu penyanyi, aktor, penari, atau lainnya.
Mereka cenderung melihat orang-orang tersebut di TV dan merasa termotivasi
untuk menjadi seperti mereka juga. Biasanya, mereka terpana dengan kesuksesan
hidup dari idola mereka dan berharap untuk bisa menjadi seperti itu atau bahkan
lebih. Penyanyi seperti Michael Jackson contohnya, yang merupakan The King of
Pop, atau Leonardo DiCaprio yang sebagai peraih Oscar 2016. Namun, apa jadinya
apabila ada seorang anak yang mengidolakan teroris?
Pada Sabtu 5 Januari 2002, seorang anak laki-laki berumur 15 tahun, bernama Charles
J. Bishop, menabrakkan pesawat Cessna yang telah dicurinya ke gedung Bank of America di Tampa, Florida. Bishop
sudah dengan jelas meniru aksi terorisme yang terjadi 11 September lalu. Dia meningggalkan sebuah surat bunuh diri yang semakin memperkuat alasan dibalik
perbuatannya. Walaupun demikian, kebanyakan dari media lebih mengutarakan bahwa Bishop
berkata dirinya sudah “mengagumi Osama Bin Laden sejak lama.”
Pada
tanggal 6 Februari 2002, pihak berwajib Tampa mengeluarkan kopian asli dari
surat bunuh diri yang ditinggakan oleh Bishop. Dan berikut adalah transkipsi
dari apa yang Bishop tulis, yang tentunya tidak dilaporkan secara umum:
“I
have prepared this statement in regards to the acts I am about to commit. First
of all, Osama Bin Laden is absolutely justified in the terror he has caused on
9-11. He has brought a mighty nation to its knees! God blesses him and the others
who helped make September 11th happen.
The
U.S. will have to face the consequences for its horrific actions against the
Palestinian people and Iraqis by its allegiance with the monstrous Israelis—who
want nothing short of world domination!
You
will pay—God help you—and I will make you pay!
There
will be more coming!
Al-Qaeda
and other organizations have met with me several times to discuss the option of
me joining. I didn’t.
This
is an operation done by me only. I had no other help. Although, I am acting on
their behalf.
Osama
Bin Laden is planning on blowing up the Super Bowl with an antiquated nuclear
bomb left over from the 1967 Israeli-Syrian war.”
![]() |
Pesawat Cessna yang diterbangkan Bishop menghantam gedung Bank of America |
Dari
kasus Bishop ini, saya belajar bahwa persepsi seorang anak dapat berbeda-beda.
Ada anak-anak yang melihat berita kejahatan di TV sebagai hal yang perlu
ditakuti dan dijauhi. Tapi, ada juga anak yang melihatnya sebagai sebuah accomplishment. Sesuatu yang begitu
hebatnya, dan mungkin dapat menarik perhatian media ke padanya. Ini menunjukkan,
ada dorongan psikologis dari dalam diri si anak. Apabila ada absensi
orangtua dalam pengawasan tontonan anak, bukan hanya pada acara anak-anak
saja, tetapi juga berita di TV. Ada kemungkinan akan semakin banyak
remaja-remaja di luar sana yang terinspirasi dengan perbuatan Bishop.
Sebelumnya,
mari kita bahas. Apa itu kekerasan?
Menurut NTVS (The
National Television Violence Study), Amerika
Serikat:
• Pelaku maupun
korban merupakan makhluk hidup (baik riil maupun
animasi)
• Ada kesengajaan
untuk menyakiti
• Kekerasan itu
bersifat fisik dan bukan psikologis
ataupun emosional.
Ketiga
poin tersebut mudah sekali dilakukan oleh anak-anak, karena mereka merupakan ‘khalayak
yang rentan’, mereka masih belum bisa membedakan mana yang real dan mana yang hanya “buatan” TV. Mereka mudah sekali
mengimitasi tindak kekerasan dan belum sepenuhnya memahami soal konsekuensi.
Sekali
lagi, apabila tidak ada bimbingan orangtua dalam kontrol tontonan anak,
tentunya anak akan semakin tidak akan mampu membedakan mana yang benar dan tidak.
EKSPERIMEN BONEKA BOBO
![]() |
Potongan video dari The Bobo Doll Experiment |
Pernahkah
anda mendengar tentang Bobo doll?
Jika belum, perlu anda ketahui kalau Bobo Doll Experiment, menunjukkan bahwa perilaku anak dipengaruhi oleh pengalaman
tidak langsung dan dalam hal ini adalah lewat tayangan TV.
Pada sebuah eksperimen metode observasi perilaku anak, didatangkan
96 balita yang terdiri dari 48 laki-laki dan 48 perempuan. Subjek dalam
penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok yang pertama mengamati
perilaku agresif dalam kehidupan nyata/lingkungan sekitar, kelompok yang kedua
juga mengamati perilaku agresif tapi dalam bentuk film.
Film
yang ditampilkan kepada subjek pertama, adalah seorang laki-laki dewasa dan
perempuan dewasa yang saling berinteraksi secara agresif sesuai dengan
kehidupan nyata. Subjek lainnya, disuguhi dengan film berbentuk karakter, yaitu
seorang perempuan yang memakai kostum hitam seperti kucing melakukan tindakan
agresif terhadap boneka Bobo. Sebuah boneka seukuran manusia dan berpenampilan
seperti badut yang dipukul bagian kepalanya dengan palu, mendudukkan
boneka dan meninju bagian hidung, lalu melemparkannya di udara, serta ditendang
keras.
Berdasarkan
hasil eksperimen tersebut, dalam jangka waktu 10 menit setelah menonton film
tersebut, subjek kedua mulai bertingkah dengan mempraktekkan tindakan yang sama
persis dengan adegan video pemukulan boneka Bobo. Ditinju, dipukul, dilempar,
dan ditendang. Sedangkan subjek pertama yang melihat anak-anak yang meniru
adegan pemukulan boneka Bobo, juga ikut-ikutan memukuli boneka Bobo tersebut
tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Hal ini menunjukkan,
tayangan kekerasan yang ditonton oleh anak akan memicu tindakan agresif dari
diri anak.
TEEN SUICIDE MERUPAKAN HAL YANG POPULER
Di
dalam buku ‘Children, Youth, and Suicide: Developmental Perspectives’ karya Gil
G. Noam dan Sophie Borst, mulai dari jangka umur 15 sampai 24, menunjukkan
faktor resiko biologis paling lazim terjadi di dalam kurun umur grup tersebut
adalah serangan pubertas, yang terpicu dari kenaikan produksi hormon yang dapat
menimbulkan pendewasaan seksual. Kapanpun keadaan biologis ini mulai menyerbu,
mereka menambah beban kepada kepanikkan dalam periode usia tersebut, dan
menaikkan resiko bunuh diri.
Seperti
yang dijelaskan oleh Erikson (1980), remaja yang mengembangkan pengertian
konsisten tentang siapa diri mereka dan akan menjadi apa mereka nantinya,
memiliki fondasi dalam kompetensi mengatasi stress pada periode usia ini.
Sebaliknya, remaja yang kesulitan dengan identitas mereka cenderung kurang dapat
mengembangkan kemampuan mengatasi yang dibutuhkan untuk dihadapi secara efektif
dengan tantangan tersebut.
Mayoritas
remaja pada umumnya memiliki sifat labil, plin-plan dan moody. Bahkan dalam pergaulan, remaja biasanya akan memilih membeli
barang yang ia suka hanya berdasarkan pilihan teman-temannya atau karena trend yang ada. Semuanya hanya dilandasi
oleh pergaulan semata, bukan karena pilihan pribadi. Dari apa yang saya lihat
dan alami sendiri, remaja terutama yang masih berada di bangku SMP dan SMA memiliki
tingkat loyalitas akan pertemanan yang tinggi, dan dari loyalitas tersebut
seakan-akan ada sebuah “perjanjian tak kasat mata" dimana ketika teman yang satu
melakukan suatu hal, maka yang lain pun akan terdorong untuk melakukan hal
tersebut juga.
Salah satu contoh terburuk dari kasus bunuh diri remaja
adalah yang terjadi di Plano High School, Dallas, Amerika Serikat. Dimana ada
dua orang sahabat, Bill Ramsey dan Bruce Carrio, siswa asal Plano High School
angkatan 1982. Pada suatu kejadian, Bill Ramsey tewas dalam sebuah drag race dan membuat sahabat yang ditinggalkannya,
Bruce, depresi berat. Sehari setelah
pemakaman Bill, Bruce memutuskan untuk menyusul temannya tersebut. Ia meracuni
dirinya sendiri di dalam mobil yang diparkirkannya di garasi rumah orang-tuanya,
dengan karbon monoksida dari bau asap bensin. Bruce Carrio, 16 tahun,
dinyatakan meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 1983. Berita tentang kasus
bunuh diri Bruce pun dengan cepat menyebar di TV.
Enam
hari setelah kematian Bruce, pada tanggal 1 Maret, Glenn Currey, 18 tahun,
bunuh diri dengan karbon monoksida di garasi rumah orang-tuanya. Sama seperti
Bill dan Bruce, Glenn juga merupakan siswa di Plano High School. Walaupun, ia
tidak mengenal Bill dan Bruce secara langsung sebelumnya. Kejadian ini masih
diikuti oleh lebih dari belasan kasus bunuh diri yang terinspirasi dari
kematian Bruce.
Walaupun
alasan bunuh diri mereka berbeda-beda, ada yang karena patah hati, ada pula
karena depresi, cara yang mereka gunakan tetap sama. Lewat racun karbon
monoksida. Ada spekulasi bahwa apabila kasus bunuh diri yang pertama tidak
pernah terjadi, kasus bunuh diri lainnya belum tentu akan terjadi. Hal ini
berarti, apabila ada satu pemicu atau dalam kata lain trend baru yang terjadi,
remaja-remaja rentan yang masih belum menemukan jati diri mereka inilah yang
akan paling terpengaruh dan termakan oleh trend
tersebut.
KURANGNYA LITERASI MEDIA
Neil
Postman (1982; 1994) dan David Buckingham (2000): jutaan anak di seluruh dunia
hilang masa kanak-kanaknya akibat terlalu banyak mengkonsumsi isi media
elektronik yang kebanyakan berupa materi untuk orang dewasa -> membuat anak menjadi
cepat dewasa sebelum waktunya, dan ini tentu menimbulkan banyak masalah.
Lalu apa yang kita butuhkan?
Jawabannya adalah literasi media. Literasi media adalah kemampuan yang harus
dimiliki oleh semua pengguna media, supaya dapat memilah mana yang positif dan
mana yang negatif serta memanfaatkan isi media dengan maksimal. Atau dalam
istilah lainnya, kita harus melek media.
Literasi media tentunya sangat dibutuhkan dalam proses
pembimbingan tontonan anak, contohnya adalah monitoring acara. Para orang-tua
harus siap sedia ketika sedang menonton bersama sebuah acara BO (bimbingan
orang-tua) atau D (dewasa) bersama anaknya. Apabila ada adegan kekerasan yang
terjadi, segera beritahu anak bahwa hal tersebut bukanlah hal yang baik dan
tidak patut untuk dilakukan atau ketika ada adegan di TV yang terkesan tidak
realistis, segera beritahukan anak bahwa hal tersebut tidak benar-benar terjadi
dan bukanlah suatu hal normal yang bisa dilakukan sehari-hari melainkan
hanyalah sebagai hiburan saja.
Hal-hal kecil seperti inilah justru yang terkadang bisa
menjadi sangat krusial dalam proses perkembangan anak. Bukan hanya parenting, bukan hanya lingkungan, tapi
juga apa yang disajikan media terhadap mereka. Terutama televisi, karena
stasiun TV swasta tidak akan peduli dengan isi/konten acara melainkan keuntungan semata.
Sering sekali saya melihat orang-tua luput dalam pengawasan
acara TV anak. Seperti kartun The Simpsons, Family Guy, bahkan Crayon Shinchan
yang awalnya merupakan kartun dewasa malah menjadi tontonan untuk anak-anak.
Akibatnya, anak-anak yang merasa kartun sebagai “teman” mereka akan dengan
mudah meniru perbuatan-perbuatan dari kartun tersebut dan menganggapnya sebagai
hal yang baik. Perlu diingat kembali, bahwa dalam kartun yang baru saja saya
sebut terdapat adegan mesum dan pembunuhan yang eksplisit. Apakah dari
miskonsepsi idola inilah yang mendorong faktor teen crimes? Bahkan apabila tidak, bisa saja terjadi Sleeper Effect pada si anak dan membuat
ia melakukan hal yang pernah ia tonton di kemudian hari.
Jika kita tidak mau kasus seperti Charles Bishop atau Bruce
Carrio terulang kembali, kita harus lebih memonitor tayangan di TV yang akan
ditonton oleh anak-anak, serta memberikan pengarahan atau bimbingan counselling
kepada para remaja yang masih rentan akan jati diri mereka. Walaupun tak nampak, kita tidak akan pernah tahu apa yang ada di dalam isi pikiran anak. Saling terbuka kepada keluarga terutama orang-tua adalah kuncinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar