Selasa, 17 Januari 2017

Eksploitasi Identitas Korban Pulomas

08.20
Pada penghujung 2016, masyarakat Indonesia digemparkan oleh pemberitaan kasus perampokan sadis di Pulomas, Jakarta Timur. Sebelas orang disekap di dalam kamar mandi dengan luas 2x1 meter, kurang lebih selama 19 jam. Hal tersebut merenggut nyawa 6 orang dan 5 orang lainnya selamat. Korban meninggal adalah Dodi (59), Diona (16), Gemma (9), Amel (10), Yanto dan Tasrok. Sedangkan korban yang selamat antara lain adalah Zanette (13), Fitriani (23), Windy (23), Santi (22) dan Emi (41).

Kamar mandi tempat penyekapan 11 korban perampokan Pulomas
Zanette, salah satu dari kelima korban selamat, merupakan saksi kunci dan satu-satunya anak Dodi yang berhasil selamat dari kekejaman perampokan Pulomas. Identitas Zanette sebagai korban serta akun media sosial-nya disebar-luaskan oleh media dan menjadi viral di kalangan masyarakat. Namun, yang tidak media perhitungkan adalah rawannya keselamatan Zanette yang masih dibawah umur karena eksposur berlebihan yang telah mereka lakukan. Apakah ada hukum konkret yang berlaku dalam perlindungan keselamatan bocah berusia 13 tahun ini?

Dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Kekerasan terhadap anak dalam arti kekerasan dan penelantaran anak adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik maupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain yang mengakibatkan cidera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak-anak atau kekuasaan.
            
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 5 Ayat 1, mengenai Perlindungan dan Hak Saksi dan Korban menyatakan bahwa, seorang Saksi dan Korban berhak:

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta
bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan
keamanan;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. Mendapat penerjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i. Dirahasiakan identitasnya;
j. Mendapat identitas baru;
k. Mendapat tempat kediaman sementara;
l. Mendapat tempat kediaman baru;
m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
n. Mendapat nasihat hukum;
o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir;
dan/atau
p. Mendapat pendampingan.

Ditambah lagi dengan Ketentuan Pasal 6 Ayat 1 disebutkan bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan:
a. Bantuan medis; dan
b. Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.

Dapat dibuktikan lewat kedua undang-undang tersebut bahwa anak sebagai korban perlu dilindungi identitasnya dari pemberitaan media massa, serta dijaga kondisi mentalnya dari gangguan stres pascatrauma atau PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Namun nyatanya, media tidak mematuhi peraturan undang-undang yang berlaku demi kepentingan ekonomi. Bagaimana tidak? Bukan hanya artikel mengenai identitas Zanette saja yang banyak dipublikasikan, foto-foto mayat korban juga berseliweran di sejumlah media sosial tanpa ada sensor.

"Bagaimana jika anaknya melihat foto itu? Atau korban yang masih hidup melihat foto itu?" Terang Irma Martam, psikolog dan pembina Yayasan Pulih dalam berita BBC Indonesia"Untuk menerima kejadian itu saja, keluarga atau kerabat dekat bisa stress dan trauma. Apalagi kalau kembali terpapar dengan foto-foto yang tersebar di media sosial” Lanjutnya.


Salah satu artikel di Kompas.com yang menampilkan foto Zanette 
Nama panjang Zanette disebutkan di Tribun Style
Seharusnya, bila media memang mengetahui dampak buruk yang bisa timbul akibat eksploitasi terhadap korban anak, media akan berhenti memberitakan mengenai Zanette dan kehidupan pribadinya. Karena mereka tidak akan pernah bisa menjamin keselamatan diri Zanette yang rawan untuk dilacak oleh massa. Masa depan seorang anak bukanlah sebuah komoditas, karena seyogyanya mereka adalah penentu masa depan bangsa yang patut untuk dilindungi.

Selasa, 10 Januari 2017

Tinggal di Kosan Campur, Hingga Dirampok di Filipina

01.58
Awal mulanya, saya yang bersekolah di Universitas Indonesia, tertarik untuk mengikuti salah satu organisasi paling digemari di UI, bernama AIESEC. AIESEC adalah organisasi non-profit internasional yang terdapat di berbagai macam universitas di seluruh dunia termasuk UI. Lewat AIESEC, saya berhasil mendapatkan sebuah proyek bernama Global Village dimana saya akan membuat karya sebuah video Vine berdurasi 6 detik tentang budaya Filipina lewat sudut pandang orang lokal dan mempromosikannya di internet. Jadi, saya akan banyak pergi mengelilingi Manila mengunjungi museum-museum seni dan sastra disana serta mempelajari sejarah dari negara indah ini.

Yang lebih menyenangkannya lagi, proyek yang saya ikuti ini diselenggarakan oleh AIESEC UPD atau University of The Philippines Diliman, universitas terbaik di Filipina. Saya pun dapat berinteraksi dengan mahasiswa-mahasiswa disana sekaligus menambah teman.

20 Januari 2014, adalah tanggal keberangkatan saya ke Filipina. Pertama kalinya saya tiba di Ninoy-Aquino International Airport (NAIA), saya dan partner saya Thobie disambut dengan ramah oleh EP (Exchange Participant) buddy kami yang bernama Mikko Argonza, kami biasa memanggilnya Mikko. Mikko membawa sebuah poster besar yang bertuliskan; “Mabuhay! Welcome to the Philippines Thobie & Arrum”. Lalu, dia meminta kami untuk berfoto dengan poster yang dia bawakan dengan alasan ingin mengirimkannya ke anggota AIESEC lainnya yang juga sudah tak sabar untuk bertemu dengan kami.

Foto kedatangan di NAIA bersama Thobie
Minggu pertama berada di sana, saya agak kesusahan dalam mencari makanan di Filipina karena mayoritas kuliner di sana mengandung babi atau alkohol. Sehingga, saya harus berhati-hati ketika akan memesan makanan. Yang kedua, adalah karena agama Islam di Filipina merupakan agama minoritas, saya lumayan kesusahan ketika datang waktu shalat dan tidak ada tempat wudhu maupun mushalla sama sekali. Sehingga, saya harus mangakali wudhu di wastafel dan shalat di tempat-tempat sepi yang jarang ada orang lewat. Selain dari itu, saya cukup menikmati keadaan di Filipina. Sistem tata kotanya, terutama di Manila, tidak terlalu berbeda dengan di Indonesia dan orang-orang lokalnya luar biasa ramah serta dapat berbicara bahasa Inggris dengan fasih.

Selama berada di sana, saya tinggal di sebuah kosan campur (co-ed) di Jalan Zuzuarregui, daerah Matandang Balara, dekat dengan University of the Phillippines Diliman supaya mempermudah mobilitas saya dari dorm ke kampus. Kosan yang saya tinggali berbentuk rumah dengan 3 lantai yang memiliki dua bangunan inti namun dijadikan satu. Bangunan sebelah kiri untuk bagian perempuan, kanan untuk laki-laki dan tengah untuk sang penghuni rumah. Di sana, saya mendapatkan teman-teman baru, dua orang Indonesia, dua orang Pinoy, satu orang Jepang dan satu orang dari India.

Kedua orang Indonesia yang saya temui bernama Kemmy dan Mira, Mira adalah Mahasiswi Hukum di UNPAD, sedangkan Kemmy Mahasiswi FKM (Fakultas Kesehatan Masyarakat) UI. Lalu ada Abhi, mahasiswa Teknik Sipil asal Dehradun, India Utara. Puka, cowok Jepang lulusan Adelaide University, Australia. Serta terakhir, Joseph dan Marj, penduduk lokal yang sama-sama berokupasi sebagai chef di Manila.

Dari kiri bawah: Thobie, Puka, Kemmy, saya.
Dari kiri atas: Joseph, Marjorie, Mira, Abhishek
Tak dapat dipungkiri, tinggal bersama orang-orang dari negara yang berbeda pasti membuat siapapun merasakan sedikit adanya culture shock ketika mengetahui kebiasaan khusus masing-masing. Seperti Puka yang tidak bisa makan makanan pedas, Abhi yang vegetarian, Joseph dan Marj yang suka bernyanyi dimanapun dan kapanpun. Tanpa mereka, mungkin saya tidak akan betah dan merasa homesick selama tinggal di sana.

Berbagai pengalaman telah saya alami bersama mereka. Namun, yang paling berkesan adalah sebuah kejadian tidak beruntung yang dialami oleh Thobie dan Abhi di kost kami sendiri. Berawal di suatu pagi pada akhir bulan Januari, ketika saya dan Thobie sudah berada di Filipina selama kurang lebh 2 minggu.

Thobie sedang menunggu saya yang masih bersiap-siap untuk berangkat ke UPD di living room kosan kami. Sayup-sayup dari dalam kamar saya bisa mendengar suara Thobie yang sedang bercakap-cakap dengan seorang pria, tapi suara pria itu tidak terdengar familiar di kuping saya. Mereka berbincang lumayan lama, tapi begitu saya pergi keluar kamar pria itu sudah tidak ada dan hanya ada Thobie sendirian.
Saya pun bertanya ke Thobie, "Ngobrol sama siapa lo tadi?"
"Ada cowok Pinoy yang mau liat-liat fasilitas kosan, katanya sih dia mau move ke sini sekitar bulan depan" Jawab Thobie
"Terus ngobrolin apa aja? Gue ampe kedengeran suara kalian dari kamar" Tanya saya lagi
"Dia sempet nanya sih, gue orang mana, kamarnya dimana, punya laptop atau nggak, laptopnya taro mana. Agak aneh ya?" Ucap Thobie. Saya terdiam karena merasa ada yang ganjil dengan pertanyaan orang asing itu kepada Thobie dan kenapa Thobie mu menjawab pertanyaan tersebut.
"Thob.....seriusan dia nanya kayak gitu? Buat apa? Kok gue ngerasa aneh ya, coba deh lo ke bawah sekarang juga buat check kamar lo" Ujar saya. Thobie pun langsung menuruti perkataan saya dan bergegas pergi meuju kamarnya.

Ternyata benar saja, kenop pintu kamar Thobie copot dan lemarinya dibongkar paksa. Dua laptop milik Thobie dan Abhi sudah tidak ada lagi di dalamnya. Saking shock-nya, Thobie hanya bisa diam dan bolak-balik di dalam kamarnya, karena melihat Thobie yang linglung seperti itu, saya curiga dia dihipnotis. Saya pun berinisiatif menelepon pemilik kosan, untuk menanyakan cara melaporkan hal ini kepada polisi.

Kami sudah mencoba untuk meminta rekaman CCTV kepada pemilik kosan namun katanya CCTV mereka sedang rusak. Kami juga bertanya kepada satpam komplek di situ, namun dia juga tidak tahu identitas pria yang merampok laptop Thobie. Begitu pemilik kos-an datang, kami langsung dibantu dan diantarkan ke kantor polisi terdekat di daerah bernama Batasan. Tak pernah terbayangkan di benak saya, pertama kalinya saya masuk ke dalam kantor polisi adalah di negara orang.

Kantor polisi tempat kami melapor
Prosedur yang harus kami lakukan guna melaporkan perampokan tersebut memakan waktu cukup lama, terlebih lagi karna kami Warga Negara Asing. Tapi sungguh disayangkan, perlakuan polisi di sana sangat tidak ramah. Mereka bahkan menganggap kasus kami ini sebagai hal yang tidak penting. Saya ingat sekali, salah satu dari polisi tersebut berkata dengan ketus dihadapan kami, "These kind of things happen everyday, there's nothing you can do about it."

Tidak ada yang bisa kita lakukan? Kenapa seorang polisi yang seharusnya membantu masyarakat yang kesulitan dengan entengnya berkata seperti itu? Saya merasa sangat tersinggung. Sampai akhirnya saya diberitahu oleh pemilik kosan bahwa tingkat kriminalitas di Filipina sangatlah tinggi, terutama pencurian dan perampokan.

Berdasarkan data dari The Philippine National Police (PNP), tingkat kriminalitas kala itu (2014) naik 46% ketimbang tahun sebelumnya. Perampokan seperti yang Thobie alami terjadi setiap harinya di Manila sendiri, hingga polisi tidak lagi mampu merekap data perampokan. Sehingga banyak sekali kasus seperti ini yang terjadi, tanpa ada penanganan lebih lanjut. Di situlah saya tersadarkan, kalau memang kriminalitas di negara ASEAN manapun sangat memprihatinkan.

Apa daya, saya dan Thobie pulang dengan tangan hampa. Ternyata kantor polisi di negara manapun sama saja susahnya dalam melakukan prosedur. Thobie pun kehilangan kesabarannya dan minta pulang. Sesampainya di kos-an kami, bapak pemilik kos-an menawarkan Thobie makanan. Thobie yang biasanya makan dengan lahap, hari itu terllihat tidak bernafsu makan.

Malamnya, saya menelepon kedua orang-tua saya lewat Skype call dan menceritakan semua yang saya alami hari itu. Ayah saya menyuruh saya untuk lebih berhati-hati, sedangkan Ibu saya yang super protektif langsung panik dan menelepon kenalannya di atalase militer Filipina. Which I think is way too exaggerating. Saya langsung melarang ibu saya untuk menelepon temannya itu, tapi ibu saya memaksa dan bilang kalau pihak sana hanya akan membantu memeriksa kos-an tempat saya tinggal dan melakukan investigasi sendiri. Ya, mau tak mau saya harus menurut apa kata ibu.

Dua hari kemudian, saya dikontak atalase militer KBRI di Filipina, yang bernama Kolonel Yani. Benar saja, dia menanyakan detail serta kronologi kejadian mengenai kasus perampokan yang dialami Thobie. Menurut Kolonel Yani, daerah tempat saya tinggal memang rawan terjadi perampokan. Dia juga berspekulasi kalau perampokan ini direncanakan oleh bapak pemilik kos-an, karena menurutnya perampokan yang Thobie alami terlalu janggal dan lancar. Kolonel Yani pun meminta saya untuk lebih berhati-hati sampai saya pulang kembali ke Indonesia. Namun, sepertinya investigasi yang dia lakukan tidak membuahkan hasil, karena hingga saya pulang ke Indonesia, pelaku perampokan itu masih juga belum ditemukan.

Kejadian yang dialami Thobie menjadi pelajaran bagi saya untuk selalu lebih berhati-hati. Saya selalu menggembok koper saya, mengecek kamar sabelum pergi, memakai tas di depan ketika berjalan, dan mengecek seluruh isi tas sebelum pulang. Saya yang biasanya ceroboh dan sembrono, menjadi sangat teliti dan lebih terorganisir di Filipina. Siapa yang tahu kalau ternyata saya mendapat hikmahnya juga.

Rabu, 04 Januari 2017

Pertemuan Tak Disengaja, Awal Karier Sang Investor Besar Malaysia

03.46


Bagi kalangan pengusaha di Malaysia, siapa yang tidak kenal Gerard Teoh? Seorang investor asal Kuala Lumpur yang memiliki sebuah perusahaan konsultan bernama Crave Capital. Meskipun Gerard kini berkecimpung di dunia Bisnis dan Kewirausahaan, ia merupakan lulusan Sarjana Hukum di Universitas Leicester, Inggris.

Gerard telah menjadi bagian dari tim anggota pendiri start-up teknologi di kawasan Asia Pasifik dan telah mengumpulkan lebih dari US$90 juta, termasuk Lestertech Technology (Keamanan internet di Malaysia), 2bSure.com (Pesan e-mail di Singapura) dan NetCel360 (Layanan Web AS dan Hongkong). Gerard menjadi penasihat perusahaan-perusahaan teknologi di pengembangan pasar Asia Pasifik termasuk NetScaler (US) dan Innovation Associates (Malaysia). Ia juga sempat menjadi analis investasi awal di Alibaba, sebuah perusahaan e-commerce terbesar di Cina.

Di balik hiruk pikuk kesuksesan hidupnya, Gerard berasal dari Taiping, Perak, sebuah kota kecil di Utara Malaysia. Kedua orang-tua Gerard membesarkan anak-anaknya dengan latar belakang pendidik, yang menurut Gerard sendiri turut memainkan peran besar dalam membentuk kariernya. Ibunya adalah guru Bahasa Inggris di Sekolah Dasar, sedangkan ayahnya adalah guru Sekolah Menengah Atas.

Ketika Gerard mengemban pendidikan di Kuala Lumpur, ia mengaku sangat pemilih dalam berteman. Dia cenderung menghindari ikut bermain dan berkumpul dengan anak-anak dari kota besar yang memiliki gaya hidup yang boros. Bahkan saat melanjutkan program sarjana-nya di Universitas Leicester, Gerard mengaku menghabiskan waktu tiga hari seminggu bekerja sebagai bartender. “Selama masih berkuliah, gaya hidup saya berbeda dari gaya hidup konvensional mahasiswa pada umumnya. Karena untuk saya, kehidupan kampus juga termasuk melakukan kerja sambilan" Ungkap Gerard ketika diwawancarai.

Gerard yang kini memegang saham di beberapa start-up di kawasan Asia Pasifik, mengaku bahwa awal mula kariernya berasal dari "pertemuan" yang tak disengaja. Saat ditanya mengenai pengalamannya tersebut, Gerard tertawa kecil sambil menjawab, "Kisah tentang bagaimana saya bisa hingga seperti sekarang ini bisa dibilang lucu atau tidak biasa. Karena menunjukkan bahwa jalan yang kita semua ambil, tidak ada yang lurus."

Berawal dari permintaan tolong seorang teman perempuan untuk menemaninya menemui orang yang ingin menyewa apartemen milik temannya tersebut di Kuala Lumpur. Gerard menyanggupi permintaan tolong itu, karena dia tahu penyewa yang akan ditemui temannya adalah pria-pria. Setelah bertemu dan berbincang dengan para penyewa tersebut, ternyata mereka adalah investor dari Amerika. Mereka melihat potensi yang dimiliki Gerard dan mengajaknya untuk tidak terobsesi untuk menjadi pengacara di Malaysia dan mulai terjun ke dunia bisnis dan kewirausahaan.
"Kita dapat menemukan peluang di tempat yang berbeda, selama kita cukup berani untuk mengambil peluang tersebut" Ujarnya

Sifat Gerard yang ramah dan easy-going bisa dibilang menjadi faktor besar kemajuan karier bisnisnya. Menurut Gerard, ia tidak akan bisa sesukses sekarang jika tidak membuka diri untuk bertemu orang-orang baru, mengenal dan memahami bagaimana mereka berpikir. Seperti bagaimana orang Amerika lebih terus terang dalam berpendapat, bagaimana orang China sangat menghargai nilai budaya yang mereka miliki lebih dari apapun, serta bagaimana orang Inggris berpikir lebih maju ke depan. Lewat networking, kita bisa mengetahui cara kita dalam menjalankan dan melakukan bisnis.
"Jika saya mengatakan saya ingin bertemu Bill Gates, maka dalam kurun 2 tahun saya bertemu Bill Gates." Ucap Gerard. Baginya, tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup selama kita selalu berani mengambil tantangan.

Titik balik dalam hidup Gerard ada dua, yang pertama terjadi ketika ibunya didiagnosis dengan kanker di tahun 2004. Ia menjual semua yang ia miliki dalam perusahaan dan menghabiskan waktu satu tahun demi merawat ibunya. Di saat itu pula, ibu Gerard menasihatinya untuk berhenti bekerja di bawah orang lain dan memulai bisnisnya sendiri. Tiga bulan setelahnya, ibunya meninggal dunia. Namun pesan terakhir yang ditinggalkan oleh ibunya tetap ia camkan, dan dari situlah mulai terciptanya Crave Capital. Titik balik hidupnya yang kedua adalah ketika ia menginjak usia 37 tahun. Gerard terkena serangan jantung. Kejadian kali ini hampir merenggut nyawanya dan membuatnya koma selama 6 bulan.
"Lagi-lagi saya harus meninggalkan segalanya, kali ini bukan untuk mengurus Ibu saya, tapi untuk mengurus diri sendiri" Kenang Gerard.
Selama masa penyembuhannya, Gerard dibuat berpikir tentang hal-hal yang telah dia lakukan selama 20 tahun terakhir dalam berkarier dan menyadari apa yang ia kejar selama ini murni hanya untuk berbisnis. Gerard pun mulai mengubah diri dan menambahkan Filantropi sebagai bagian dari kehidupannya. Dia dengan semangat menjelaskan, "Saat ini, Crave Capital sudah menghabiskan 25% dari waktu kami untuk melakukan pekerjaan Filantropi di Asia."

Lewat pengalaman jatuh-bangunnya, Gerard belajar bahwa tidak ada yang namanya satu jalan yang benar. Dalam hidup, pasti ada banyak jalan dan kita bisa mengambil semua jalan itu. Yang terpenting adalah kita percaya bahwa apa yang kita lakukan akan berdampak sesuatu, atau membuat perbedaan dalam hal tersebut.