Source: Kompas.com |
Era
media digital membawa kita kepada eksposur terhadap informasi yang tak
terbatas. Dengan satu kali “klik” kita bisa mendapatkan apapun yang kita mau,
kapanpun, dan dimanapun. Ini lah yang disebut sebagai Second Age Media, dimana segala sesuatu yang meliputi masyarakat
adalah informasi. Kita dapat memaknai hal ini sebagai sesuatu yang positif
sekaligus negatif, tergantung dari aspek mana kita memandangnya.
Media
digital dapat memberikan dampak yang buruk apabila tidak didampingi dengan
literasi media yang baik. Banyak sekali media online di Indonesia yang mengabaikan hal ini untuk sekedar memuat
berita yang bombastis atau sensasional, dan jauh dari 9 Elemen Jurnalisme
menurut Bill Kovach & Tom Rosenstiel (2001). Salah satu contoh kasus yang menarik dan patut untuk dibahas adalah pemberitaan misoginis terhadap putri dari Fadli Zon, yaitu Shafa Sabila.
Dr.
H. Fadli Zon, S.S, M.Sc adalah wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia periode 2014-2019. Ia turut mendirikan serta menjabat sebagai wakil
ketua Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), serta dipercaya sebagai Chairman of Global Organization of
Parliamentarians Against Corruption (GOPAC) atau Presiden Organisasi
Parlemen Anti Korupsi Sedunia. Fadli terkenal sebagai politikus yang sering
mengutarakan pendapatnya atau nyinyir
di media sosial, Twitter. Hal ini menuai berbagai reaksi di kalangan netizen, yang mana sebagian besar lebih
ke konteks negatif karena keberpihakan Fadli terhadap orang-orang yang kontroversial
(Buni Yani, Setya Novanto, dan lain sebagainya). Sehingga tak heran apabila
Fadli memiliki banyak oposisi.
Fadli
memiliki dua anak perempuan, yang sulung bernama Shafa Sabila Fadli dan yang
bungsu bernama Zara Saladina Fadli. Warganet/netizen mungkin sudah sangat familiar dengan nama anak sulung
Fadli, Shafa Sabila. Karena perempuan berusia 19 tahun ini sering diberitakan
oleh media online seperti portal
berita Tribunnews, IDNtimes, hingga Detik, tentunya seputar ikatan darahnya
dengan Fadli Zon.
Setiap
kali Fadli Zon melakukan sesuatu yang menyita perhatian publik, entah
bagaimana selalu berimbas pada kehidupan pribadi Shafa. Seperti contohnya, Fadli
sempat mengkritik kebijakan Presiden RI, Joko Widodo (Tribunnews, April 2017)
perihal program revolusi mental dan bagaimana presiden terkesan melindungi
mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama dari proses hukum kasus dugaan
penistaan agama. Yang langsung dibalas oleh mantan anggota DPR RI, Ruhut
Sitompul dengan ucapan “Anaknya Pak Jokowi hidupnya sederhana, sedangkan
anaknya Fadli Zon di Amerika minta di VIP, semua harus dijemput, ketika
ketahuan malu”. Shafa tidak tinggal diam dan membalas ucapan Ruhut lewat media
sosial, namun netizen sudah terlanjur
menghakiminya duluan dan turut melakukan bullying
terhadap Shafa di akun Instagram-nya. Lebih gawatnya lagi, media malah
berlomba-lomba dalam memberitakan kasus ini dan mengekspos habis-habisan
identitas serta kehidupan pribadi Shafa.
Baru-baru
ini Fadli Zon menyindir pernikahan Kahiyang Ayu & Bobby Nasution lewat tweet-nya di Twitter, dan Shafa sekali
lagi terkena imbasnya oleh media. Banyak bermunculan artikel mengenai gaya
hidup mahasiswi Queen Mary University of London jurusan Business Management itu
beserta foto-foto pribadinya yang di-cap “liar”, lalu dibandingkan dengan gaya hidup
Kahiyang Ayu yang terbilang lebih sederhana dan sopan. Jadi, media kini bukan
hanya mengkritik gaya hidup perempuan, namun juga membandingkannya dengan gaya
hidup perempuan lain.
Perlu
dipertanyakan, apakah benar Shafa mendapatkan reaksi keras dari media serta
masyarakat hanya karena dia anak dari Fadli Zon? Apa hubungan seluk-beluk karir
ayahnya dengan pribadi anaknya? Apakah Shafa akan mendapatkan reaksi yang sama apabila ia adalah seorang laki-laki? Hal ini yang membuat subyektivitas media perlu
dipertanyakan. Namun, meninjau dari budaya Indonesia yang terlampau patriarkal,
kasus ini memperkuat kentalnya unsur misoginis yang masih dimiliki media di
Indonesia. Dampaknya pada masyarakat adalah timbulnya patologi terhadap
misogini, yang semakin memperkuat diskriminasi dan objektifikasi pada perempuan,
terutama public figure.