Selasa, 21 November 2017

Pemberitaan Misoginis Pada Putri Fadli Zon

14.40
Source: Kompas.com

Era media digital membawa kita kepada eksposur terhadap informasi yang tak terbatas. Dengan satu kali “klik” kita bisa mendapatkan apapun yang kita mau, kapanpun, dan dimanapun. Ini lah yang disebut sebagai Second Age Media, dimana segala sesuatu yang meliputi masyarakat adalah informasi. Kita dapat memaknai hal ini sebagai sesuatu yang positif sekaligus negatif, tergantung dari aspek mana kita memandangnya.

Media digital dapat memberikan dampak yang buruk apabila tidak didampingi dengan literasi media yang baik. Banyak sekali media online di Indonesia yang mengabaikan hal ini untuk sekedar memuat berita yang bombastis atau sensasional, dan jauh dari 9 Elemen Jurnalisme menurut Bill Kovach & Tom Rosenstiel (2001). Salah satu contoh kasus yang menarik dan patut untuk dibahas adalah pemberitaan misoginis terhadap putri dari Fadli Zon, yaitu Shafa Sabila.

Dr. H. Fadli Zon, S.S, M.Sc adalah wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia periode 2014-2019. Ia turut mendirikan serta menjabat sebagai wakil ketua Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), serta dipercaya sebagai Chairman of Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC) atau Presiden Organisasi Parlemen Anti Korupsi Sedunia. Fadli terkenal sebagai politikus yang sering mengutarakan pendapatnya atau nyinyir di media sosial, Twitter. Hal ini menuai berbagai reaksi di kalangan netizen, yang mana sebagian besar lebih ke konteks negatif karena keberpihakan Fadli terhadap orang-orang yang kontroversial (Buni Yani, Setya Novanto, dan lain sebagainya). Sehingga tak heran apabila Fadli memiliki banyak oposisi.

Fadli memiliki dua anak perempuan, yang sulung bernama Shafa Sabila Fadli dan yang bungsu bernama Zara Saladina Fadli. Warganet/netizen mungkin sudah sangat familiar dengan nama anak sulung Fadli, Shafa Sabila. Karena perempuan berusia 19 tahun ini sering diberitakan oleh media online seperti portal berita Tribunnews, IDNtimes, hingga Detik, tentunya seputar ikatan darahnya dengan Fadli Zon.

Setiap kali Fadli Zon melakukan sesuatu yang menyita perhatian publik, entah bagaimana selalu berimbas pada kehidupan pribadi Shafa. Seperti contohnya, Fadli sempat mengkritik kebijakan Presiden RI, Joko Widodo (Tribunnews, April 2017) perihal program revolusi mental dan bagaimana presiden terkesan melindungi mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama dari proses hukum kasus dugaan penistaan agama. Yang langsung dibalas oleh mantan anggota DPR RI, Ruhut Sitompul dengan ucapan “Anaknya Pak Jokowi hidupnya sederhana, sedangkan anaknya Fadli Zon di Amerika minta di VIP, semua harus dijemput, ketika ketahuan malu”. Shafa tidak tinggal diam dan membalas ucapan Ruhut lewat media sosial, namun netizen sudah terlanjur menghakiminya duluan dan turut melakukan bullying terhadap Shafa di akun Instagram-nya. Lebih gawatnya lagi, media malah berlomba-lomba dalam memberitakan kasus ini dan mengekspos habis-habisan identitas serta kehidupan pribadi Shafa.

Baru-baru ini Fadli Zon menyindir pernikahan Kahiyang Ayu & Bobby Nasution lewat tweet-nya di Twitter, dan Shafa sekali lagi terkena imbasnya oleh media. Banyak bermunculan artikel mengenai gaya hidup mahasiswi Queen Mary University of London jurusan Business Management itu beserta foto-foto pribadinya yang di-cap “liar”, lalu dibandingkan dengan gaya hidup Kahiyang Ayu yang terbilang lebih sederhana dan sopan. Jadi, media kini bukan hanya mengkritik gaya hidup perempuan, namun juga membandingkannya dengan gaya hidup perempuan lain.

Perlu dipertanyakan, apakah benar Shafa mendapatkan reaksi keras dari media serta masyarakat hanya karena dia anak dari Fadli Zon? Apa hubungan seluk-beluk karir ayahnya dengan pribadi anaknya? Apakah Shafa akan mendapatkan reaksi yang sama apabila ia adalah seorang laki-laki? Hal ini yang membuat subyektivitas media perlu dipertanyakan. Namun, meninjau dari budaya Indonesia yang terlampau patriarkal, kasus ini memperkuat kentalnya unsur misoginis yang masih dimiliki media di Indonesia. Dampaknya pada masyarakat adalah timbulnya patologi terhadap misogini, yang semakin memperkuat diskriminasi dan objektifikasi pada perempuan, terutama public figure.