Senin, 28 November 2016

Jalan Rusak Investasi Desa

05.46
Hujan turun di kaki gunung Halimun. Tanah merah menjadi liat, jalanan yang berlubang membentuk kubangan-kubangan kecil. Medan yang harus ditempuh oleh mobil dan motor pun menjadi semakin berbahaya, karena licinnya jalan di kala hujan. Sedangkan satu-satunya cara untuk sampai ke Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar adalah melalui akses berkelok gunung Halimun yang terkenal memiliki medan yang sulit untuk ditaklukan.

Tak heran, banyak orang yang gagal berkunjung ke Ciptagelar terutama ketika hujan datang. Alasan utama adalah karena kendaraan mereka tidak mampu melewati medan yang ada, atau karena mereka sudah kelelahan duluan karena memang butuh fisik yang sehat dan kuat untuk bisa mencapai Ciptagelar. Jarak tempuh menuju kesana memakan 4 jam perjalanan menggunakan mobil dan 5 jam dengan motor.

Jalanan di Ciptagelar yang sering dilalui oleh warga

Sebuah mobil memasuki kawasan Ciptagelar
Ujang Suhendi, kepala Desa Sirnaresmi yang menaungi beberapa kampung adat di Cisolok, Sukabumi, termasuk Ciptagelar, mengatakan bahwa infrastruktur di Ciptagelar sudah diperjuangkan lewat provinsi dan pusat, namun masih berbenturan dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pemerintah desa sudah menggiring dana dari provinsi hingga 2.9 milyar, hampir mencapai 3 milyar Rupiah. Namun tak bisa direalisasikan karena sekali lagi terhalang oleh Taman Nasional yang khawatir hal tersebut akan merusak hutan lindung.

Ujang Suhendi, Kepala Desa Sirnaresmi
“Justru orang-orang sono mau mengusul hidup setara sesama desa-desa yang lain gitu, jalannya pingin diaspal, pingin bagus apalagi ketika kendalanya ketika ibu hamil mau melahirkan itu kan sedangkan saya sendiri selaku kepala desa ditekan oleh Bupati, Gubernur harus meminimalisir angka kematian ibu, kematian bayi tapi dengan posisi infrastruktur seperti itu ya... mau tidak mau masih di kecamatan  Cisolok mungkin Desa Sirnaresmi masih ada tingkat kematian bayi kemudian dengan posisi jalan seperti itu” Ungkap Ujang, menceritakan alasannya dalam memperbaiki infrastruktur di Ciptagelar.

Ada rahasia di balik jalan rusak Ciptagelar dan hanya warganya sendiri dan para pengamat budaya lah yang tahu mengapa. Bukan karena kurangnya dana ataupun akses untuk bahan baku untuk membuat jalan. Ciptagelar memiliki alasan istimewa dibalik itu semua.

Drs. Jajang Gunawijaya, MA, Antropolog UI
Seorang Antropolog dan guru besar di Universitas Indonesia, Jajang Gunawijaya mengutarakan pendapatnya mengenai alasan dibalik jalanan rusak, Justru ini yang saya khawatirkan, makin banyak turis berkunjung merusak lingkungan. Itulah sebabnya mengapa pemimpin adat Ciptagelar itu tidak memperbaiki jalan. Jalan dibiarkan rusak, jalan dibiarkan bukan rusak memang jalan dibiarkan apa adanya gitu. Karena itu salah satu mekanisme supaya tidak rusak lingkungan alamnya. Kalau jalannya dibikin kayak di Puncak, susah, nanti banyak orang mencuri kayu, banyak orang jadi pemburu liar gitu, habis”.


Harian Kompas tentang Pembangunan Jalan di TNGHS
Dilansir dari Harian Kompas, menurut Abah Anom, ketua adat Kasepuhan Ciptagelar terdahulu, pembangunan jalan itu merupakan tuntutan masyarakat adat. Selama ini masyarakat berjalan kaki belasan kilometer lewat medan yang curam. Jika naik ojek, warga harus mengeluarkan ongkos yang tinggi. “Pelebaran jalan ini keinginan warga adat. Abah hanya memenuhi tuntutan itu” Ungkapnya.


Ia menyatakan, pelebaran jalan tidak bermaksud merusak lingungan di hutan konservasi itu, tetapi hanya memermudah akses transportasi warga setempat. Masyarakat adat Banten Kidul juga memiliki pandanan hidup bahwa hutan merupakan titipan leluhur yag harus dijaga kelestariannya. Bahkan, ada daerah yang dianggap hutan larangan dan tidak boleh dijamah manusia.

Walaupun banyak pihak yang berseteru akan infrastruktur di Ciptagelar, para pemuka adat dan warga Kasepuhan saling sepakat untuk mempertahankan jalanan rusak tersebut, guna kelestarian budaya serta tatanan adat dari pengaruh budaya luar.

Senin, 14 November 2016

CIGA TV, TV Adat Kebanggaan Ciptagelar

20.27

Selasa, 15 November 2016.


Fajar datang di ufuk Timur. Matahari perlahan memunculkan sinarnya dari balik pegunungan hijau. Ayam berkokok pertanda sudah waktunya para warga untuk bangun. Warga pun bersiap-siap untuk memulai aktifitasnya. Setelah matahari sudah agak timbul, suasana di luar rumah warga berubah menjadi ramai. Bapak-bapak ada yang sedang mencangkul sawah dan ada yang membawa ikatan padi dengan bambu, sedangkan ibu-ibu terlihat sibuk menumbuk padi dan anak-anak berangkat ke sekolah. Tampak seorang pria keluar dari Imah Gede, kediaman utama para pemimpin adat Kasepuhan Ciptagelar, sembari tersenyum melihat aktivitas warganya. Pria tersebut adalah Abah Ugi Sugriwa Rakasiwi, sang kepala adat.

Tidak jauh dari Imah Gede, ada sebuah rumah warga yang terlihat sederhana dari luar. Tapi jika dilihat lebih seksama, ada beberapa motor yang diparkirkan di rumahnya dan di atas genteng rumah tersebut terdapat antena serta parabola. Sang pemilik rumah dan keluarganya sedang menonton TV di dalam dengan hikmatnya. Mereka menonton saluran CIGA TV. Raut wajah mereka terlihat sangat senang ketika menonton. Di sini lah keunikan desa indah ini.


Warga terlihat sedang menonton CIGA TV di rumah

Masyarakat adat identik dengan “kuno” dan “terbelakang”. Namun, pada kenyataannya hal tersebut justru sangat bertolak belakang dengan kondisi yang ada di Kasepuhan Ciptagelar, sebuah kampung adat yang terletak di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Arus modernisasi yang begitu cepat telah masuk ke dalam Ibukota Kesatuan Adat Banten Kidul ini.

Tak banyak orang yang tahu, tapi Ciptagelar memiliki televisi dan radio sendiri. Di tahun 2004, kepala adat mereka, Abah Ugi, merakit sendiri sebuah radio sederhana dengan barang bekas rongsokan elektronik dari kota. Radio tersebut dinamakan RSC FM atau Radio Swara Ciptagelar, namun sudah tidak aktif selama bertahun-tahun karena kekurangan tenaga pekerja. Kemudian di tahun 2008, terciptalah CIGA TV atau dalam bahasa Sunda memiliki arti “seperti televisi”.

Abah Ugi bercerita, bahwa salah satu alasan ia mendirikan CIGA TV dan RSC FM adalah karena rasa rindunya akan rumah ketika merantau ke Kota Sukabumi guna mengemban ilmu. Menurut Abah Ugi, ia merasa kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang-tuanya sehingga ia mencari cara untuk membuat suatu alat yang nantinya akan diterapkan di desanya sebagai alat media komunikasi.


Abah Ugi Sugriwa Rakasiwi, Kepala Adat Ciptagelar

“Abah mengusulkan ke almarhum ayah abah, pak kalau saya boleh bikin media komunikasi boleh nggak?” Tutur Abah Ugi, memulai cerita alasan dibalik ia membangun RSC FM dan CIGA TV.

“Kata ayah abah silahkan, dengan satu catatan, modal kamu cari sendiri. Ya abah mencari modal dari beberapa teman dan sebagainya selain dari ya alat-alat yang rusak, abah kumpulin, abah rakit waktu itu, abah membuat satu pemancar FM waktu itu untuk radio komunikasi antar warga.” Ungkapnya.

CIGA TV sendiri hingga saat ini diurus oleh juru bicara kasepuhan, Yoyo Yogasmana atau akrab dipanggil Kang Yoyo. Rumah Kang Yoyo sendiri digunakan sebagai kantor CIGA TV dan dapur editing televisi adat tersebut.


Yoyo Yogasmana, Juru Bicara Kasepuhan

Kang Yoyo mengaku, proses pembuatan CIGA TV pun sangat sederhana, tidak seperti yang orang-orang bayangkan. Dimulai dari hasil memungut dari rongsokan elektronik audio dan video yang digabungkan, kemudian dimasukan ke alat transmisi ke pengaturan transmisi kemudian balancing, coloring dan sebagainya masuk ke transmitter, keluar lewat antena dan itu memancar seperti TV.

“Makanya namanya jadi CIGA TV. Mirip TV, kenapa mirip TV? Karena CIGA TV ini ya bukan TV beneran ya. Cuman mirip TV aja” Ujar Kang Yoyo.


Abah sedang sibuk merakit beberapa peralatan elektronik miliknya

Di Kasepuhan Ciptagelar sendiri pun, CIGA TV sangat dicintai oleh penduduk. Faktor utamanya adalah karena tayangan yang disiarkan. Mulai dari dokumentasi keseharian warga, kegiatan mereka saat bekerja, persiapan upacara adat, hingga kehidupan Abah Ugi sang kepala adat. Untuk hiburannya sendiri, ada liputan dangdut, angklung, dan Pop Sunda. Dengan jumlah presentase 70% aktivitas adat dan 30% hiburan. Semuanya murni bertujuan untuk melestarikan budaya dan tradisi yang ada. Kang Yoyo juga mengatakan bahwa pendidikan visual lewat televisi diharapkan dapat melaksanakan tatanan terutama pertanian, yang merupakan mata pencaharian utama di Ciptagelar.

Selain Kang Yoyo, ada satu orang lagi yang membantu mengoperasikan CIGA TV. Dia adalah murid dari Kang Yoyo, sekaligus cameraman CIGA TV, Junen. Di usianya yang masih 17 tahun, Junen sudah berpengalaman dalam membantu Kang Yoyo meliput banyak hal untuk CIGA TV.


Junen, Cameraman CIGA TV

“Kalo dulu ngikutin sama yang udah bisa, kalo udah itu dikasih satu kamera buat belajar. Ari yang kecil sampe pegang yang DSLR. Kalo disini Junen diajarin setting kameranya, ganti lensanya, ngurus kameranya. Paling seneng belajar nge-drone.” Ungkap Junen dengan semangat ketika ditanya tentang pekerjaannya sebagai cameraman di CIGA TV.

Semua alat yang digunakan untuk CIGA TV mulai dari MacBook, kamera DSLR, tripoddrone, dan lain sebagainya, adalah barang pribadi Abah Ugi dan terkadang mendapat sumbangan dari para pendatang/orang luar yang ingin membantu memajukan teknologi di kampung adat Ciptagelar.

Dengan harapan dan cita-cita yang besar, Abah Ugi beserta pengurus CIGA TV menginginkan kemajuan CIGA TV sebagai bukti bahwa nilai dan tradisi adat mampu berjalan selaras dengan perkembangan teknologi.