Selasa, 21 November 2017

Pemberitaan Misoginis Pada Putri Fadli Zon

14.40
Source: Kompas.com

Era media digital membawa kita kepada eksposur terhadap informasi yang tak terbatas. Dengan satu kali “klik” kita bisa mendapatkan apapun yang kita mau, kapanpun, dan dimanapun. Ini lah yang disebut sebagai Second Age Media, dimana segala sesuatu yang meliputi masyarakat adalah informasi. Kita dapat memaknai hal ini sebagai sesuatu yang positif sekaligus negatif, tergantung dari aspek mana kita memandangnya.

Media digital dapat memberikan dampak yang buruk apabila tidak didampingi dengan literasi media yang baik. Banyak sekali media online di Indonesia yang mengabaikan hal ini untuk sekedar memuat berita yang bombastis atau sensasional, dan jauh dari 9 Elemen Jurnalisme menurut Bill Kovach & Tom Rosenstiel (2001). Salah satu contoh kasus yang menarik dan patut untuk dibahas adalah pemberitaan misoginis terhadap putri dari Fadli Zon, yaitu Shafa Sabila.

Dr. H. Fadli Zon, S.S, M.Sc adalah wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia periode 2014-2019. Ia turut mendirikan serta menjabat sebagai wakil ketua Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), serta dipercaya sebagai Chairman of Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC) atau Presiden Organisasi Parlemen Anti Korupsi Sedunia. Fadli terkenal sebagai politikus yang sering mengutarakan pendapatnya atau nyinyir di media sosial, Twitter. Hal ini menuai berbagai reaksi di kalangan netizen, yang mana sebagian besar lebih ke konteks negatif karena keberpihakan Fadli terhadap orang-orang yang kontroversial (Buni Yani, Setya Novanto, dan lain sebagainya). Sehingga tak heran apabila Fadli memiliki banyak oposisi.

Fadli memiliki dua anak perempuan, yang sulung bernama Shafa Sabila Fadli dan yang bungsu bernama Zara Saladina Fadli. Warganet/netizen mungkin sudah sangat familiar dengan nama anak sulung Fadli, Shafa Sabila. Karena perempuan berusia 19 tahun ini sering diberitakan oleh media online seperti portal berita Tribunnews, IDNtimes, hingga Detik, tentunya seputar ikatan darahnya dengan Fadli Zon.

Setiap kali Fadli Zon melakukan sesuatu yang menyita perhatian publik, entah bagaimana selalu berimbas pada kehidupan pribadi Shafa. Seperti contohnya, Fadli sempat mengkritik kebijakan Presiden RI, Joko Widodo (Tribunnews, April 2017) perihal program revolusi mental dan bagaimana presiden terkesan melindungi mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama dari proses hukum kasus dugaan penistaan agama. Yang langsung dibalas oleh mantan anggota DPR RI, Ruhut Sitompul dengan ucapan “Anaknya Pak Jokowi hidupnya sederhana, sedangkan anaknya Fadli Zon di Amerika minta di VIP, semua harus dijemput, ketika ketahuan malu”. Shafa tidak tinggal diam dan membalas ucapan Ruhut lewat media sosial, namun netizen sudah terlanjur menghakiminya duluan dan turut melakukan bullying terhadap Shafa di akun Instagram-nya. Lebih gawatnya lagi, media malah berlomba-lomba dalam memberitakan kasus ini dan mengekspos habis-habisan identitas serta kehidupan pribadi Shafa.

Baru-baru ini Fadli Zon menyindir pernikahan Kahiyang Ayu & Bobby Nasution lewat tweet-nya di Twitter, dan Shafa sekali lagi terkena imbasnya oleh media. Banyak bermunculan artikel mengenai gaya hidup mahasiswi Queen Mary University of London jurusan Business Management itu beserta foto-foto pribadinya yang di-cap “liar”, lalu dibandingkan dengan gaya hidup Kahiyang Ayu yang terbilang lebih sederhana dan sopan. Jadi, media kini bukan hanya mengkritik gaya hidup perempuan, namun juga membandingkannya dengan gaya hidup perempuan lain.

Perlu dipertanyakan, apakah benar Shafa mendapatkan reaksi keras dari media serta masyarakat hanya karena dia anak dari Fadli Zon? Apa hubungan seluk-beluk karir ayahnya dengan pribadi anaknya? Apakah Shafa akan mendapatkan reaksi yang sama apabila ia adalah seorang laki-laki? Hal ini yang membuat subyektivitas media perlu dipertanyakan. Namun, meninjau dari budaya Indonesia yang terlampau patriarkal, kasus ini memperkuat kentalnya unsur misoginis yang masih dimiliki media di Indonesia. Dampaknya pada masyarakat adalah timbulnya patologi terhadap misogini, yang semakin memperkuat diskriminasi dan objektifikasi pada perempuan, terutama public figure.

Senin, 12 Juni 2017

The Strongest Woman I Know

14.05
She lived alone. Her husband died 19 years before she did. In her solitude, she feeds off memories and long-term malady.

Her children live peacefully yet remotely. Far from the eyes, but close to her heart.

She's a strong woman. Though sometimes she's not. Sometimes, she would knelt down on her knees. Her hands clenched tight. Her eyes closed yet tears flowed.

Only prayers ever touched her lips. Purifying her from the sins she committed.

She used to live extravagantly. But time passes and life is a wheel. She was on top, then she's in rock bottom.

She's a strong woman. Her faith never changed. She had nothing left but a smile on her face. People asked, "How?" To which she replied, "Love."



-RAB

Sabtu, 08 April 2017

Spotlight, Ketika Media Melawan Gereja dan Birokrasi

09.50


Mengisahkan tentang perjuangan empat orang wartawan investigasi, Spotlight yang terinspirasi dari kisah nyata membawa penontonnya ke dalam realita pahit permainan birokrasi media dan rahasia kelam gereja di Amerika.

Disutradai oleh Tom McCarthy dan ditulis oleh McCarthy dan Josh Singer, film Spotlight yang bergenre drama kejahatan biografi ini berhasil memikat dengan gaya pengambilan gambar yang simpel dan tanpa dibuat-buat. Tak heran apabila film ini berhasil menyabet piala Oscar 2015 sebagai Best Picture.

Spotlight adalah tim yang terbentuk guna menulis sebuah rubrik investigasi di surat kabar The Boston Globe. Tim ini beranggotakan Michael “Mike” Rezendez (Mark Ruffalo), Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams) dan Steve Kurkjian (Gene Amoroso), serta diketuai oleh Walter “Robby” Robinson (Michael Keaton) sebagai kepala editor.

Berawal mula dari kedatangan pemimpin redaksi baru asal Miami bernama Marty Baron (Live Schreiber), kantor redaksi The Boston Globe dibuat gencar karena kabar mengenai Baron yang tidak ragu dalam memecat pekerja-pekerja di kantornya yang lama. Namun, di hari pertamanya bekerja di The Boston Globe, Baron membawa Eileen McNamara ke dalam ruang rapat dan menunjukkan ketertarikannya pada kolom yang ditulis Eileen tentang skandal kasus pelecehan seksual pada anak yang dilakukan oleh Geoghan, seorang pastor Katolik di Boston. Setelahnya, Baron meminta Robby sebagai kepala editor tim Spotlight untuk menyelidiki lebih lanjut kasus Geoghan, karena ia rasa kasus tersebut belum cukup mendapatkan sorotan di media.

Pengajuan yang dilakukan Baron mendapatkan banyak respon negatif maupun positif. Karena pertama, menginvestigasi kasus Geoghan sama saja dengan berusaha untuk menuntut gereja. Kedua, 53% pembaca The Boston Globe adalah penganut agama Katolik. Namun, Robby sebagai kepala editor memilih untuk mengambil resiko dan membawa ide tersebut ke tim Spotlight.

Langkah pertama yang diinstruksikan oleh Baron adalah membuka kembali dokumen gugatan kepada pastor John Geoghan yang telah didakwa melakukan lebih dari 80 kasus pencabulan anak. Robby lalu menugaskan Mike untuk pergi menemui Mitchell Garabedian, seorang pengacara yang mengaku memiliki bukti-bukti lengkap yang mampu membuktikan bahwa Geoghan bersalah dan Kardinal Law turut terlibat dalam menutupi kasus tersebut. Keterlibatan Kardinal Law ini semakin memperumit keadaan karena Kardinal Law adalah uskup besar Boston, seseorang yang memiliki peranan serta kekuatan besar di gereja.

Setiap anggota Spotlight memiliki tugas yang berbeda-beda, seperti contohnya; Mike yang mengumpulkan data dari Garabedian sebagai pengacara para korban, Sacha turun ke lapangan untuk melacak keberadaan dan mewawancarai langsung para korban, sementara Steve membuka arsip-arsip serta artikel lama di The Boston Globe.

Cara Mike untuk membujuk Garabedian untuk berbicara bisa dibilang sangat gigih. Dia tidak hanya datang ke kantornya, dia juga mendatangi Garabedian langsung di jalan menuju kantor apabila ia susah dihubungi untuk dimintai keterangan dan hal tersebut tidak hanya dilakukan sekali saja. Sedangkan Sacha cenderung lebih hati-hati dan menunjukkan empatinya kepada korban yang ia wawancarai sehingga bisa membuat mereka merasa nyaman dan bercerita terus-terang padanya. Robby memiliki watak paling keras diantara ketiga wartawan yang turun ke lapangan. Yang paling membedakannya adalah keahliannya dalam bersosialisasi dan koneksinya di Boston yang begitu luas.

Ketika Mike pergi menemui Garabedian, Robby dan Sacha mengadakan meeting bersama Eric Macleash, pengacara korban tindak pelecehan seksual dari kasus Father Porter. Sedangkan Baron sebagai kepala editor yang baru pergi berkeliling mengurus kepentingan birokrasi yang ada guna mempermudah pekerjaan tim Spotlight. Seperti berbicara langsung ke penerbit dan bahkan bertemu dengan Kardinal Law di kediamannya. Di sini membuktikan bahwa bukan hanya tim Spotlight saja lah yang bekerja dalam menggali berita, kepala editor mereka juga turut membantu penyelidikan.

Setelah itu, tim Spotlight mengundang langsung Phil Saviano, ketua SNAP (Survivors Network of those Abused by Priests) ke redaksi mereka. Lewat wawancara mereka dengan Saviano, diketahuilah bahwa bukti-bukti yang dimiliki Saviano sudah ia kirimkan 5 tahun yang lalu namun tidak ada tanggapan dari pihak The Globe. Ini membuat tim Spotlight kebingungan karena tak satupun dari mereka yang mengetahui hal tersebut. Namun berkat Saviano, mereka berhasil dibawa menuju narasumber-narasumber berikutnya yang selanjutnya akan didatangi langsung oleh Sacha baik itu di kafe maupun kediaman para narasumber.

Di waktu lain, Robby pergi bermain golf bersama kawan lamanya, Jim Sullivan. Jim Sullivan diduga menjadi orang yang membantu kasus Liam Barret, pastor yang mencabuli anak-anak di Philadelphia lalu dipindah-tugaskan ke Boston, lalu dipindah-tugaskan lagi ke tempat lain. Awalnya Robby hanya berbincang-bincang santai dengan Jim tetapi Jim yang segera menangkap motif Robby memilih untuk bungkam. Yang menarik dari cerita ini adalah bagaimana para pemainnya saling mengenal narasumber-narasumber yang mereka kejar karena masih berada di satu lingkungan yang sama dengan mereka dan bukti bahwa ‘Boston pride’ sangat kuat disana, hingga membuat aparat hukum, gereja, dan media mampu bersengkongkol dalam melindungi kota Boston.

Para wartawan The Globe terus mempersuasi narasumber secara perlahan namun meyakinkan. Mereka juga menghargai privasi narasumber, apabila dibilang off the record, mereka tidak akan merekam, apabila dibilang untuk tidak dicatat sama sekali mereka tidak akan mencatat (namun mengingat), apabila narasumber meminta untuk mengganti tempat untuk berbincang mereka akan menurutinya dan apabila narasumber tidak mau menyebutkan nama, tidak akan mereka tulis.

Banyak sekali rintangan yang dialami oleh tim Spotlight. Seperti sulitnya bertemu dengan para narasumber, ditolak ketika dimintai keterangan kepada pengacara-pengacara yang terlibat, tidak mendapatkan perizinan untuk mengambil dokumen dari pengadilan, atau terkadang mereka harus rela mengesampingkan kepentingan pribadi mereka karena proses dalam meulis berita Spotlight tidaklah singkat. Salah satu bagian yang menyita waktu paling lama dari tim Spotlight adalah pengumpulan dokumen-dokumen lama dari arsip pengadilan dan data-data pribadi The Boston Globe sendiri.

Titik terang mulai datang kepada tim Spotlight. Berdasakan penuturan Richard Sipe, psikoterapis dari The Seton Psychiatric Institute di Baltimore, dalam wawancaranya on the phone dengan Mike, 6% dari pendeta di Boston pernah berhubungan seksual terhadap 90 anak-anak. Berkat kerja keras mereka berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan dan juga dari keterangan narsumber-narasumber terpercaya, ditemukan fakta bahwa ada 87 pendeta Katolik yang diduga telah melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak. Hanya berbeda 3 angka dari prediksi Sipe. Angka tersebut sangat mengejutkan karena terlampau jauh dari angka awal perkiraan mereka, yaitu 13 pendeta.

Setelah mendapatkan fakta yang mengejutkan tersebut, tim Spotlight kembali mendapatkan halangan. Peristiwa 9/11 terjadi selang beberapa minggu kemudian dan memecah fokus The Boston Globe atas prioritas berita yang harus diliput. Tim Spotlight terpaksa menunda penuntasan berita mereka walaupun Mike sudah berhasil mendapatkan izin dari pengadilan untuk membuka dokumen rahasia gereja. Ia dan tim memutuskan untuk tidak menerbitkannya pada akhir tahun, karena berdekatan dengan Natal. Namun alasan utamanya adalah karena 9/11 sudah cukup memberikan trauma berat pada masyarakat Amerika di tahun 2001.

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pada tanggal 6 Januari 2002, setelah kurang lebih 6 bulan masa investigasi, The Boston Globe menerbitkan headline dengan judul "Church Allowed Abuse by Priest For Years". Headline tersebut tentunya cepat menyebar dan menggemparkan masyarakat Boston. Bahkan di hari terbitnya berita investigasi tersebut, tim Spotlight mendapatkan banyak respon dari pembacanya. Mike dan Robby yang baru tiba di kantor sempat terkejut ketika melihat ruang redaksi Spotlight dipenuhi karyawan The Boston Globe yang sedang membantu Sacha dan Steve menerima berbagai telepon yang masuk. Telepon-telepon itu berasal dari korban-korban pelecehan seksual yang juga dilakukan oleh pendeta. Banyak sekali korban yang tadinya bungkam menjadi bersedia menceritakan pengalaman pribadi mereka secara sukarela. Bukan hanya itu saja efek berita yang dilakukan oleh tim Spotlight, mereka juga berhasil membuat Kardial Law mengundurkan diri dari jabatannya.

Dalam film Spotlight ini, sarat pesan yang mengandung kaidah-kaidah jurnalistik. Fokus utama di sini adalah jurnalisme investigasi, yang memiliki arti; penelusuran panjang berita dan mendalam terhadap sebuah kasus yang bersifat rahasia. Memang proses pembuatan beritanya memakan waktu yang terbilang cukup lama, namun dampak yang diberikan dari berita investigasi ketika disebar-luaskan mampu mengubah persepsi masyarakat, pemerintah dan bahkan pihak media sendiri.

Senin, 06 Februari 2017

Dampak Tayangan Pada Anak

03.17
TAYANGAN KEKERASAN DI TV, MEMICU NALURI MEMBUNUH?


            Anak-anak terutama kalangan remaja yang sering menghabiskan waktu dengan menonton TV, tentu memiliki idola kesayangan. Entah itu penyanyi, aktor, penari, atau lainnya. Mereka cenderung melihat orang-orang tersebut di TV dan merasa termotivasi untuk menjadi seperti mereka juga. Biasanya, mereka terpana dengan kesuksesan hidup dari idola mereka dan berharap untuk bisa menjadi seperti itu atau bahkan lebih. Penyanyi seperti Michael Jackson contohnya, yang merupakan The King of Pop, atau Leonardo DiCaprio yang sebagai peraih Oscar 2016. Namun, apa jadinya apabila ada seorang anak yang mengidolakan teroris?

         Pada Sabtu 5 Januari 2002, seorang anak laki-laki berumur 15 tahun, bernama Charles J. Bishop, menabrakkan pesawat Cessna yang telah dicurinya ke gedung Bank of America di Tampa, Florida. Bishop sudah dengan jelas meniru aksi terorisme yang terjadi 11 September lalu. Dia meningggalkan sebuah surat bunuh diri yang semakin memperkuat alasan dibalik perbuatannya. Walaupun demikian, kebanyakan dari media lebih mengutarakan bahwa Bishop berkata dirinya sudah “mengagumi Osama Bin Laden sejak lama.”

Pada tanggal 6 Februari 2002, pihak berwajib Tampa mengeluarkan kopian asli dari surat bunuh diri yang ditinggakan oleh Bishop. Dan berikut adalah transkipsi dari apa yang Bishop tulis, yang tentunya tidak dilaporkan secara umum:

“I have prepared this statement in regards to the acts I am about to commit. First of all, Osama Bin Laden is absolutely justified in the terror he has caused on 9-11. He has brought a mighty nation to its knees! God blesses him and the others who helped make September 11th happen.
The U.S. will have to face the consequences for its horrific actions against the Palestinian people and Iraqis by its allegiance with the monstrous Israelis—who want nothing short of world domination!
You will pay—God help you—and I will make you pay!
There will be more coming!
Al-Qaeda and other organizations have met with me several times to discuss the option of me joining. I didn’t.
This is an operation done by me only. I had no other help. Although, I am acting on their behalf.
Osama Bin Laden is planning on blowing up the Super Bowl with an antiquated nuclear bomb left over from the 1967 Israeli-Syrian war.”

Pesawat Cessna yang diterbangkan Bishop menghantam gedung Bank of America
Dari kasus Bishop ini, saya belajar bahwa persepsi seorang anak dapat berbeda-beda. Ada anak-anak yang melihat berita kejahatan di TV sebagai hal yang perlu ditakuti dan dijauhi. Tapi, ada juga anak yang melihatnya sebagai sebuah accomplishment. Sesuatu yang begitu hebatnya, dan mungkin dapat menarik perhatian media ke padanya. Ini menunjukkan, ada dorongan psikologis dari dalam diri si anak. Apabila ada absensi orangtua dalam pengawasan tontonan anak, bukan hanya pada acara anak-anak saja, tetapi juga berita di TV. Ada kemungkinan akan semakin banyak remaja-remaja di luar sana yang terinspirasi dengan perbuatan Bishop.

Sebelumnya, mari kita bahas. Apa itu kekerasan?
Menurut NTVS (The National Television Violence Study), Amerika Serikat:
• Pelaku maupun korban merupakan makhluk hidup (baik riil maupun animasi)
• Ada kesengajaan untuk menyakiti
• Kekerasan itu bersifat fisik dan bukan psikologis
ataupun emosional.

Ketiga poin tersebut mudah sekali dilakukan oleh anak-anak, karena mereka merupakan ‘khalayak yang rentan’, mereka masih belum bisa membedakan mana yang real dan mana yang hanya “buatan” TV. Mereka mudah sekali mengimitasi tindak kekerasan dan belum sepenuhnya memahami soal konsekuensi.

Sekali lagi, apabila tidak ada bimbingan orangtua dalam kontrol tontonan anak, tentunya anak akan semakin tidak akan mampu membedakan mana yang benar dan tidak.


EKSPERIMEN BONEKA BOBO

Potongan video dari The Bobo Doll Experiment
Pernahkah anda mendengar tentang Bobo doll? Jika belum, perlu anda ketahui kalau Bobo Doll Experiment, menunjukkan bahwa perilaku anak dipengaruhi oleh pengalaman tidak langsung dan dalam hal ini adalah lewat tayangan TV.

          Pada sebuah eksperimen metode observasi perilaku anak, didatangkan 96 balita yang terdiri dari 48 laki-laki dan 48 perempuan. Subjek dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok yang pertama mengamati perilaku agresif dalam kehidupan nyata/lingkungan sekitar, kelompok yang kedua juga mengamati perilaku agresif tapi dalam bentuk film.

Film yang ditampilkan kepada subjek pertama, adalah seorang laki-laki dewasa dan perempuan dewasa yang saling berinteraksi secara agresif sesuai dengan kehidupan nyata. Subjek lainnya, disuguhi dengan film berbentuk karakter, yaitu seorang perempuan yang memakai kostum hitam seperti kucing melakukan tindakan agresif terhadap boneka Bobo. Sebuah boneka seukuran manusia dan berpenampilan seperti badut yang dipukul bagian kepalanya dengan palu, mendudukkan boneka dan meninju bagian hidung, lalu melemparkannya di udara, serta ditendang keras.

Berdasarkan hasil eksperimen tersebut, dalam jangka waktu 10 menit setelah menonton film tersebut, subjek kedua mulai bertingkah dengan mempraktekkan tindakan yang sama persis dengan adegan video pemukulan boneka Bobo. Ditinju, dipukul, dilempar, dan ditendang. Sedangkan subjek pertama yang melihat anak-anak yang meniru adegan pemukulan boneka Bobo, juga ikut-ikutan memukuli boneka Bobo tersebut tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Hal ini menunjukkan, tayangan kekerasan yang ditonton oleh anak akan memicu tindakan agresif dari diri anak.

TEEN SUICIDE MERUPAKAN HAL YANG POPULER

Di dalam buku ‘Children, Youth, and Suicide: Developmental Perspectives’ karya Gil G. Noam dan Sophie Borst, mulai dari jangka umur 15 sampai 24, menunjukkan faktor resiko biologis paling lazim terjadi di dalam kurun umur grup tersebut adalah serangan pubertas, yang terpicu dari kenaikan produksi hormon yang dapat menimbulkan pendewasaan seksual. Kapanpun keadaan biologis ini mulai menyerbu, mereka menambah beban kepada kepanikkan dalam periode usia tersebut, dan menaikkan resiko bunuh diri.

Seperti yang dijelaskan oleh Erikson (1980), remaja yang mengembangkan pengertian konsisten tentang siapa diri mereka dan akan menjadi apa mereka nantinya, memiliki fondasi dalam kompetensi mengatasi stress pada periode usia ini. Sebaliknya, remaja yang kesulitan dengan identitas mereka cenderung kurang dapat mengembangkan kemampuan mengatasi yang dibutuhkan untuk dihadapi secara efektif dengan tantangan tersebut.

Mayoritas remaja pada umumnya memiliki sifat labil, plin-plan dan moody. Bahkan dalam pergaulan, remaja biasanya akan memilih membeli barang yang ia suka hanya berdasarkan pilihan teman-temannya atau karena trend yang ada. Semuanya hanya dilandasi oleh pergaulan semata, bukan karena pilihan pribadi. Dari apa yang saya lihat dan alami sendiri, remaja terutama yang masih berada di bangku SMP dan SMA memiliki tingkat loyalitas akan pertemanan yang tinggi, dan dari loyalitas tersebut seakan-akan ada sebuah “perjanjian tak kasat mata" dimana ketika teman yang satu melakukan suatu hal, maka yang lain pun akan terdorong untuk melakukan hal tersebut juga.

          Salah satu contoh terburuk dari kasus bunuh diri remaja adalah yang terjadi di Plano High School, Dallas, Amerika Serikat. Dimana ada dua orang sahabat, Bill Ramsey dan Bruce Carrio, siswa asal Plano High School angkatan 1982. Pada suatu kejadian, Bill Ramsey tewas dalam sebuah drag race dan membuat sahabat yang ditinggalkannya, Bruce, depresi berat.  Sehari setelah pemakaman Bill, Bruce memutuskan untuk menyusul temannya tersebut. Ia meracuni dirinya sendiri di dalam mobil yang diparkirkannya di garasi rumah orang-tuanya, dengan karbon monoksida dari bau asap bensin. Bruce Carrio, 16 tahun, dinyatakan meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 1983. Berita tentang kasus bunuh diri Bruce pun dengan cepat menyebar di TV.

Enam hari setelah kematian Bruce, pada tanggal 1 Maret, Glenn Currey, 18 tahun, bunuh diri dengan karbon monoksida di garasi rumah orang-tuanya. Sama seperti Bill dan Bruce, Glenn juga merupakan siswa di Plano High School. Walaupun, ia tidak mengenal Bill dan Bruce secara langsung sebelumnya. Kejadian ini masih diikuti oleh lebih dari belasan kasus bunuh diri yang terinspirasi dari kematian Bruce.

Walaupun alasan bunuh diri mereka berbeda-beda, ada yang karena patah hati, ada pula karena depresi, cara yang mereka gunakan tetap sama. Lewat racun karbon monoksida. Ada spekulasi bahwa apabila kasus bunuh diri yang pertama tidak pernah terjadi, kasus bunuh diri lainnya belum tentu akan terjadi. Hal ini berarti, apabila ada satu pemicu atau dalam kata lain trend baru yang terjadi, remaja-remaja rentan yang masih belum menemukan jati diri mereka inilah yang akan paling terpengaruh dan termakan oleh trend  tersebut.


KURANGNYA LITERASI MEDIA

               Neil Postman (1982; 1994) dan David Buckingham (2000): jutaan anak di seluruh dunia hilang masa kanak-kanaknya akibat terlalu banyak mengkonsumsi isi media elektronik yang kebanyakan berupa materi untuk orang dewasa -> membuat anak menjadi cepat dewasa sebelum waktunya, dan ini tentu menimbulkan banyak masalah.

          Lalu apa yang kita butuhkan? Jawabannya adalah literasi media. Literasi media adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh semua pengguna media, supaya dapat memilah mana yang positif dan mana yang negatif serta memanfaatkan isi media dengan maksimal. Atau dalam istilah lainnya, kita harus melek media.

          Literasi media tentunya sangat dibutuhkan dalam proses pembimbingan tontonan anak, contohnya adalah monitoring acara. Para orang-tua harus siap sedia ketika sedang menonton bersama sebuah acara BO (bimbingan orang-tua) atau D (dewasa) bersama anaknya. Apabila ada adegan kekerasan yang terjadi, segera beritahu anak bahwa hal tersebut bukanlah hal yang baik dan tidak patut untuk dilakukan atau ketika ada adegan di TV yang terkesan tidak realistis, segera beritahukan anak bahwa hal tersebut tidak benar-benar terjadi dan bukanlah suatu hal normal yang bisa dilakukan sehari-hari melainkan hanyalah sebagai hiburan saja.

          Hal-hal kecil seperti inilah justru yang terkadang bisa menjadi sangat krusial dalam proses perkembangan anak. Bukan hanya parenting, bukan hanya lingkungan, tapi juga apa yang disajikan media terhadap mereka. Terutama televisi, karena stasiun TV swasta tidak akan peduli dengan isi/konten acara melainkan keuntungan semata.

          Sering sekali saya melihat orang-tua luput dalam pengawasan acara TV anak. Seperti kartun The Simpsons, Family Guy, bahkan Crayon Shinchan yang awalnya merupakan kartun dewasa malah menjadi tontonan untuk anak-anak. Akibatnya, anak-anak yang merasa kartun sebagai “teman” mereka akan dengan mudah meniru perbuatan-perbuatan dari kartun tersebut dan menganggapnya sebagai hal yang baik. Perlu diingat kembali, bahwa dalam kartun yang baru saja saya sebut terdapat adegan mesum dan pembunuhan yang eksplisit. Apakah dari miskonsepsi idola inilah yang mendorong faktor teen crimes? Bahkan apabila tidak, bisa saja terjadi Sleeper Effect pada si anak dan membuat ia melakukan hal yang pernah ia tonton di kemudian hari.

          Jika kita tidak mau kasus seperti Charles Bishop atau Bruce Carrio terulang kembali, kita harus lebih memonitor tayangan di TV yang akan ditonton oleh anak-anak, serta memberikan pengarahan atau bimbingan counselling kepada para remaja yang masih rentan akan jati diri mereka. Walaupun tak nampak, kita tidak akan pernah tahu apa yang ada di dalam isi pikiran anak. Saling terbuka kepada keluarga terutama orang-tua adalah kuncinya.

Selasa, 17 Januari 2017

Eksploitasi Identitas Korban Pulomas

08.20
Pada penghujung 2016, masyarakat Indonesia digemparkan oleh pemberitaan kasus perampokan sadis di Pulomas, Jakarta Timur. Sebelas orang disekap di dalam kamar mandi dengan luas 2x1 meter, kurang lebih selama 19 jam. Hal tersebut merenggut nyawa 6 orang dan 5 orang lainnya selamat. Korban meninggal adalah Dodi (59), Diona (16), Gemma (9), Amel (10), Yanto dan Tasrok. Sedangkan korban yang selamat antara lain adalah Zanette (13), Fitriani (23), Windy (23), Santi (22) dan Emi (41).

Kamar mandi tempat penyekapan 11 korban perampokan Pulomas
Zanette, salah satu dari kelima korban selamat, merupakan saksi kunci dan satu-satunya anak Dodi yang berhasil selamat dari kekejaman perampokan Pulomas. Identitas Zanette sebagai korban serta akun media sosial-nya disebar-luaskan oleh media dan menjadi viral di kalangan masyarakat. Namun, yang tidak media perhitungkan adalah rawannya keselamatan Zanette yang masih dibawah umur karena eksposur berlebihan yang telah mereka lakukan. Apakah ada hukum konkret yang berlaku dalam perlindungan keselamatan bocah berusia 13 tahun ini?

Dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Kekerasan terhadap anak dalam arti kekerasan dan penelantaran anak adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik maupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain yang mengakibatkan cidera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak-anak atau kekuasaan.
            
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 5 Ayat 1, mengenai Perlindungan dan Hak Saksi dan Korban menyatakan bahwa, seorang Saksi dan Korban berhak:

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta
bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan
keamanan;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. Mendapat penerjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i. Dirahasiakan identitasnya;
j. Mendapat identitas baru;
k. Mendapat tempat kediaman sementara;
l. Mendapat tempat kediaman baru;
m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
n. Mendapat nasihat hukum;
o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir;
dan/atau
p. Mendapat pendampingan.

Ditambah lagi dengan Ketentuan Pasal 6 Ayat 1 disebutkan bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan:
a. Bantuan medis; dan
b. Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.

Dapat dibuktikan lewat kedua undang-undang tersebut bahwa anak sebagai korban perlu dilindungi identitasnya dari pemberitaan media massa, serta dijaga kondisi mentalnya dari gangguan stres pascatrauma atau PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Namun nyatanya, media tidak mematuhi peraturan undang-undang yang berlaku demi kepentingan ekonomi. Bagaimana tidak? Bukan hanya artikel mengenai identitas Zanette saja yang banyak dipublikasikan, foto-foto mayat korban juga berseliweran di sejumlah media sosial tanpa ada sensor.

"Bagaimana jika anaknya melihat foto itu? Atau korban yang masih hidup melihat foto itu?" Terang Irma Martam, psikolog dan pembina Yayasan Pulih dalam berita BBC Indonesia"Untuk menerima kejadian itu saja, keluarga atau kerabat dekat bisa stress dan trauma. Apalagi kalau kembali terpapar dengan foto-foto yang tersebar di media sosial” Lanjutnya.


Salah satu artikel di Kompas.com yang menampilkan foto Zanette 
Nama panjang Zanette disebutkan di Tribun Style
Seharusnya, bila media memang mengetahui dampak buruk yang bisa timbul akibat eksploitasi terhadap korban anak, media akan berhenti memberitakan mengenai Zanette dan kehidupan pribadinya. Karena mereka tidak akan pernah bisa menjamin keselamatan diri Zanette yang rawan untuk dilacak oleh massa. Masa depan seorang anak bukanlah sebuah komoditas, karena seyogyanya mereka adalah penentu masa depan bangsa yang patut untuk dilindungi.

Selasa, 10 Januari 2017

Tinggal di Kosan Campur, Hingga Dirampok di Filipina

01.58
Awal mulanya, saya yang bersekolah di Universitas Indonesia, tertarik untuk mengikuti salah satu organisasi paling digemari di UI, bernama AIESEC. AIESEC adalah organisasi non-profit internasional yang terdapat di berbagai macam universitas di seluruh dunia termasuk UI. Lewat AIESEC, saya berhasil mendapatkan sebuah proyek bernama Global Village dimana saya akan membuat karya sebuah video Vine berdurasi 6 detik tentang budaya Filipina lewat sudut pandang orang lokal dan mempromosikannya di internet. Jadi, saya akan banyak pergi mengelilingi Manila mengunjungi museum-museum seni dan sastra disana serta mempelajari sejarah dari negara indah ini.

Yang lebih menyenangkannya lagi, proyek yang saya ikuti ini diselenggarakan oleh AIESEC UPD atau University of The Philippines Diliman, universitas terbaik di Filipina. Saya pun dapat berinteraksi dengan mahasiswa-mahasiswa disana sekaligus menambah teman.

20 Januari 2014, adalah tanggal keberangkatan saya ke Filipina. Pertama kalinya saya tiba di Ninoy-Aquino International Airport (NAIA), saya dan partner saya Thobie disambut dengan ramah oleh EP (Exchange Participant) buddy kami yang bernama Mikko Argonza, kami biasa memanggilnya Mikko. Mikko membawa sebuah poster besar yang bertuliskan; “Mabuhay! Welcome to the Philippines Thobie & Arrum”. Lalu, dia meminta kami untuk berfoto dengan poster yang dia bawakan dengan alasan ingin mengirimkannya ke anggota AIESEC lainnya yang juga sudah tak sabar untuk bertemu dengan kami.

Foto kedatangan di NAIA bersama Thobie
Minggu pertama berada di sana, saya agak kesusahan dalam mencari makanan di Filipina karena mayoritas kuliner di sana mengandung babi atau alkohol. Sehingga, saya harus berhati-hati ketika akan memesan makanan. Yang kedua, adalah karena agama Islam di Filipina merupakan agama minoritas, saya lumayan kesusahan ketika datang waktu shalat dan tidak ada tempat wudhu maupun mushalla sama sekali. Sehingga, saya harus mangakali wudhu di wastafel dan shalat di tempat-tempat sepi yang jarang ada orang lewat. Selain dari itu, saya cukup menikmati keadaan di Filipina. Sistem tata kotanya, terutama di Manila, tidak terlalu berbeda dengan di Indonesia dan orang-orang lokalnya luar biasa ramah serta dapat berbicara bahasa Inggris dengan fasih.

Selama berada di sana, saya tinggal di sebuah kosan campur (co-ed) di Jalan Zuzuarregui, daerah Matandang Balara, dekat dengan University of the Phillippines Diliman supaya mempermudah mobilitas saya dari dorm ke kampus. Kosan yang saya tinggali berbentuk rumah dengan 3 lantai yang memiliki dua bangunan inti namun dijadikan satu. Bangunan sebelah kiri untuk bagian perempuan, kanan untuk laki-laki dan tengah untuk sang penghuni rumah. Di sana, saya mendapatkan teman-teman baru, dua orang Indonesia, dua orang Pinoy, satu orang Jepang dan satu orang dari India.

Kedua orang Indonesia yang saya temui bernama Kemmy dan Mira, Mira adalah Mahasiswi Hukum di UNPAD, sedangkan Kemmy Mahasiswi FKM (Fakultas Kesehatan Masyarakat) UI. Lalu ada Abhi, mahasiswa Teknik Sipil asal Dehradun, India Utara. Puka, cowok Jepang lulusan Adelaide University, Australia. Serta terakhir, Joseph dan Marj, penduduk lokal yang sama-sama berokupasi sebagai chef di Manila.

Dari kiri bawah: Thobie, Puka, Kemmy, saya.
Dari kiri atas: Joseph, Marjorie, Mira, Abhishek
Tak dapat dipungkiri, tinggal bersama orang-orang dari negara yang berbeda pasti membuat siapapun merasakan sedikit adanya culture shock ketika mengetahui kebiasaan khusus masing-masing. Seperti Puka yang tidak bisa makan makanan pedas, Abhi yang vegetarian, Joseph dan Marj yang suka bernyanyi dimanapun dan kapanpun. Tanpa mereka, mungkin saya tidak akan betah dan merasa homesick selama tinggal di sana.

Berbagai pengalaman telah saya alami bersama mereka. Namun, yang paling berkesan adalah sebuah kejadian tidak beruntung yang dialami oleh Thobie dan Abhi di kost kami sendiri. Berawal di suatu pagi pada akhir bulan Januari, ketika saya dan Thobie sudah berada di Filipina selama kurang lebh 2 minggu.

Thobie sedang menunggu saya yang masih bersiap-siap untuk berangkat ke UPD di living room kosan kami. Sayup-sayup dari dalam kamar saya bisa mendengar suara Thobie yang sedang bercakap-cakap dengan seorang pria, tapi suara pria itu tidak terdengar familiar di kuping saya. Mereka berbincang lumayan lama, tapi begitu saya pergi keluar kamar pria itu sudah tidak ada dan hanya ada Thobie sendirian.
Saya pun bertanya ke Thobie, "Ngobrol sama siapa lo tadi?"
"Ada cowok Pinoy yang mau liat-liat fasilitas kosan, katanya sih dia mau move ke sini sekitar bulan depan" Jawab Thobie
"Terus ngobrolin apa aja? Gue ampe kedengeran suara kalian dari kamar" Tanya saya lagi
"Dia sempet nanya sih, gue orang mana, kamarnya dimana, punya laptop atau nggak, laptopnya taro mana. Agak aneh ya?" Ucap Thobie. Saya terdiam karena merasa ada yang ganjil dengan pertanyaan orang asing itu kepada Thobie dan kenapa Thobie mu menjawab pertanyaan tersebut.
"Thob.....seriusan dia nanya kayak gitu? Buat apa? Kok gue ngerasa aneh ya, coba deh lo ke bawah sekarang juga buat check kamar lo" Ujar saya. Thobie pun langsung menuruti perkataan saya dan bergegas pergi meuju kamarnya.

Ternyata benar saja, kenop pintu kamar Thobie copot dan lemarinya dibongkar paksa. Dua laptop milik Thobie dan Abhi sudah tidak ada lagi di dalamnya. Saking shock-nya, Thobie hanya bisa diam dan bolak-balik di dalam kamarnya, karena melihat Thobie yang linglung seperti itu, saya curiga dia dihipnotis. Saya pun berinisiatif menelepon pemilik kosan, untuk menanyakan cara melaporkan hal ini kepada polisi.

Kami sudah mencoba untuk meminta rekaman CCTV kepada pemilik kosan namun katanya CCTV mereka sedang rusak. Kami juga bertanya kepada satpam komplek di situ, namun dia juga tidak tahu identitas pria yang merampok laptop Thobie. Begitu pemilik kos-an datang, kami langsung dibantu dan diantarkan ke kantor polisi terdekat di daerah bernama Batasan. Tak pernah terbayangkan di benak saya, pertama kalinya saya masuk ke dalam kantor polisi adalah di negara orang.

Kantor polisi tempat kami melapor
Prosedur yang harus kami lakukan guna melaporkan perampokan tersebut memakan waktu cukup lama, terlebih lagi karna kami Warga Negara Asing. Tapi sungguh disayangkan, perlakuan polisi di sana sangat tidak ramah. Mereka bahkan menganggap kasus kami ini sebagai hal yang tidak penting. Saya ingat sekali, salah satu dari polisi tersebut berkata dengan ketus dihadapan kami, "These kind of things happen everyday, there's nothing you can do about it."

Tidak ada yang bisa kita lakukan? Kenapa seorang polisi yang seharusnya membantu masyarakat yang kesulitan dengan entengnya berkata seperti itu? Saya merasa sangat tersinggung. Sampai akhirnya saya diberitahu oleh pemilik kosan bahwa tingkat kriminalitas di Filipina sangatlah tinggi, terutama pencurian dan perampokan.

Berdasarkan data dari The Philippine National Police (PNP), tingkat kriminalitas kala itu (2014) naik 46% ketimbang tahun sebelumnya. Perampokan seperti yang Thobie alami terjadi setiap harinya di Manila sendiri, hingga polisi tidak lagi mampu merekap data perampokan. Sehingga banyak sekali kasus seperti ini yang terjadi, tanpa ada penanganan lebih lanjut. Di situlah saya tersadarkan, kalau memang kriminalitas di negara ASEAN manapun sangat memprihatinkan.

Apa daya, saya dan Thobie pulang dengan tangan hampa. Ternyata kantor polisi di negara manapun sama saja susahnya dalam melakukan prosedur. Thobie pun kehilangan kesabarannya dan minta pulang. Sesampainya di kos-an kami, bapak pemilik kos-an menawarkan Thobie makanan. Thobie yang biasanya makan dengan lahap, hari itu terllihat tidak bernafsu makan.

Malamnya, saya menelepon kedua orang-tua saya lewat Skype call dan menceritakan semua yang saya alami hari itu. Ayah saya menyuruh saya untuk lebih berhati-hati, sedangkan Ibu saya yang super protektif langsung panik dan menelepon kenalannya di atalase militer Filipina. Which I think is way too exaggerating. Saya langsung melarang ibu saya untuk menelepon temannya itu, tapi ibu saya memaksa dan bilang kalau pihak sana hanya akan membantu memeriksa kos-an tempat saya tinggal dan melakukan investigasi sendiri. Ya, mau tak mau saya harus menurut apa kata ibu.

Dua hari kemudian, saya dikontak atalase militer KBRI di Filipina, yang bernama Kolonel Yani. Benar saja, dia menanyakan detail serta kronologi kejadian mengenai kasus perampokan yang dialami Thobie. Menurut Kolonel Yani, daerah tempat saya tinggal memang rawan terjadi perampokan. Dia juga berspekulasi kalau perampokan ini direncanakan oleh bapak pemilik kos-an, karena menurutnya perampokan yang Thobie alami terlalu janggal dan lancar. Kolonel Yani pun meminta saya untuk lebih berhati-hati sampai saya pulang kembali ke Indonesia. Namun, sepertinya investigasi yang dia lakukan tidak membuahkan hasil, karena hingga saya pulang ke Indonesia, pelaku perampokan itu masih juga belum ditemukan.

Kejadian yang dialami Thobie menjadi pelajaran bagi saya untuk selalu lebih berhati-hati. Saya selalu menggembok koper saya, mengecek kamar sabelum pergi, memakai tas di depan ketika berjalan, dan mengecek seluruh isi tas sebelum pulang. Saya yang biasanya ceroboh dan sembrono, menjadi sangat teliti dan lebih terorganisir di Filipina. Siapa yang tahu kalau ternyata saya mendapat hikmahnya juga.

Rabu, 04 Januari 2017

Pertemuan Tak Disengaja, Awal Karier Sang Investor Besar Malaysia

03.46


Bagi kalangan pengusaha di Malaysia, siapa yang tidak kenal Gerard Teoh? Seorang investor asal Kuala Lumpur yang memiliki sebuah perusahaan konsultan bernama Crave Capital. Meskipun Gerard kini berkecimpung di dunia Bisnis dan Kewirausahaan, ia merupakan lulusan Sarjana Hukum di Universitas Leicester, Inggris.

Gerard telah menjadi bagian dari tim anggota pendiri start-up teknologi di kawasan Asia Pasifik dan telah mengumpulkan lebih dari US$90 juta, termasuk Lestertech Technology (Keamanan internet di Malaysia), 2bSure.com (Pesan e-mail di Singapura) dan NetCel360 (Layanan Web AS dan Hongkong). Gerard menjadi penasihat perusahaan-perusahaan teknologi di pengembangan pasar Asia Pasifik termasuk NetScaler (US) dan Innovation Associates (Malaysia). Ia juga sempat menjadi analis investasi awal di Alibaba, sebuah perusahaan e-commerce terbesar di Cina.

Di balik hiruk pikuk kesuksesan hidupnya, Gerard berasal dari Taiping, Perak, sebuah kota kecil di Utara Malaysia. Kedua orang-tua Gerard membesarkan anak-anaknya dengan latar belakang pendidik, yang menurut Gerard sendiri turut memainkan peran besar dalam membentuk kariernya. Ibunya adalah guru Bahasa Inggris di Sekolah Dasar, sedangkan ayahnya adalah guru Sekolah Menengah Atas.

Ketika Gerard mengemban pendidikan di Kuala Lumpur, ia mengaku sangat pemilih dalam berteman. Dia cenderung menghindari ikut bermain dan berkumpul dengan anak-anak dari kota besar yang memiliki gaya hidup yang boros. Bahkan saat melanjutkan program sarjana-nya di Universitas Leicester, Gerard mengaku menghabiskan waktu tiga hari seminggu bekerja sebagai bartender. “Selama masih berkuliah, gaya hidup saya berbeda dari gaya hidup konvensional mahasiswa pada umumnya. Karena untuk saya, kehidupan kampus juga termasuk melakukan kerja sambilan" Ungkap Gerard ketika diwawancarai.

Gerard yang kini memegang saham di beberapa start-up di kawasan Asia Pasifik, mengaku bahwa awal mula kariernya berasal dari "pertemuan" yang tak disengaja. Saat ditanya mengenai pengalamannya tersebut, Gerard tertawa kecil sambil menjawab, "Kisah tentang bagaimana saya bisa hingga seperti sekarang ini bisa dibilang lucu atau tidak biasa. Karena menunjukkan bahwa jalan yang kita semua ambil, tidak ada yang lurus."

Berawal dari permintaan tolong seorang teman perempuan untuk menemaninya menemui orang yang ingin menyewa apartemen milik temannya tersebut di Kuala Lumpur. Gerard menyanggupi permintaan tolong itu, karena dia tahu penyewa yang akan ditemui temannya adalah pria-pria. Setelah bertemu dan berbincang dengan para penyewa tersebut, ternyata mereka adalah investor dari Amerika. Mereka melihat potensi yang dimiliki Gerard dan mengajaknya untuk tidak terobsesi untuk menjadi pengacara di Malaysia dan mulai terjun ke dunia bisnis dan kewirausahaan.
"Kita dapat menemukan peluang di tempat yang berbeda, selama kita cukup berani untuk mengambil peluang tersebut" Ujarnya

Sifat Gerard yang ramah dan easy-going bisa dibilang menjadi faktor besar kemajuan karier bisnisnya. Menurut Gerard, ia tidak akan bisa sesukses sekarang jika tidak membuka diri untuk bertemu orang-orang baru, mengenal dan memahami bagaimana mereka berpikir. Seperti bagaimana orang Amerika lebih terus terang dalam berpendapat, bagaimana orang China sangat menghargai nilai budaya yang mereka miliki lebih dari apapun, serta bagaimana orang Inggris berpikir lebih maju ke depan. Lewat networking, kita bisa mengetahui cara kita dalam menjalankan dan melakukan bisnis.
"Jika saya mengatakan saya ingin bertemu Bill Gates, maka dalam kurun 2 tahun saya bertemu Bill Gates." Ucap Gerard. Baginya, tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup selama kita selalu berani mengambil tantangan.

Titik balik dalam hidup Gerard ada dua, yang pertama terjadi ketika ibunya didiagnosis dengan kanker di tahun 2004. Ia menjual semua yang ia miliki dalam perusahaan dan menghabiskan waktu satu tahun demi merawat ibunya. Di saat itu pula, ibu Gerard menasihatinya untuk berhenti bekerja di bawah orang lain dan memulai bisnisnya sendiri. Tiga bulan setelahnya, ibunya meninggal dunia. Namun pesan terakhir yang ditinggalkan oleh ibunya tetap ia camkan, dan dari situlah mulai terciptanya Crave Capital. Titik balik hidupnya yang kedua adalah ketika ia menginjak usia 37 tahun. Gerard terkena serangan jantung. Kejadian kali ini hampir merenggut nyawanya dan membuatnya koma selama 6 bulan.
"Lagi-lagi saya harus meninggalkan segalanya, kali ini bukan untuk mengurus Ibu saya, tapi untuk mengurus diri sendiri" Kenang Gerard.
Selama masa penyembuhannya, Gerard dibuat berpikir tentang hal-hal yang telah dia lakukan selama 20 tahun terakhir dalam berkarier dan menyadari apa yang ia kejar selama ini murni hanya untuk berbisnis. Gerard pun mulai mengubah diri dan menambahkan Filantropi sebagai bagian dari kehidupannya. Dia dengan semangat menjelaskan, "Saat ini, Crave Capital sudah menghabiskan 25% dari waktu kami untuk melakukan pekerjaan Filantropi di Asia."

Lewat pengalaman jatuh-bangunnya, Gerard belajar bahwa tidak ada yang namanya satu jalan yang benar. Dalam hidup, pasti ada banyak jalan dan kita bisa mengambil semua jalan itu. Yang terpenting adalah kita percaya bahwa apa yang kita lakukan akan berdampak sesuatu, atau membuat perbedaan dalam hal tersebut.